Kultum Pebruari 2008

Kultum 1 Pebruari 2008

Waktu pelaksanaan Aqiqah

Sebahagian ummat Islam ada bahkan banyak yang melaksanakan aqiqah tidak pada hari yang tepat yakni pada hari ke-7 bagaimana kita menyikapi hal ini ?

Kembali kepada masalah pokok bahwa aqiqah itu hukumnya adalah sunnah muakkad, sunnah yang hampir mendekati wajib, Namun perlu diingat bahwa jangan sampai ada yang dirugikan oleh adanya aqiqah ini. Prinsip inilah yang medasari Imam Ahmad bin Hambal : “Penyembelihan dilakukan pada hari ketujuh, jika tidak maka pada hari keempat belas, dan jika tidak maka pada hari kedua puluh satu.” Pendapat ini sama dengan hadits yg dibawakan oleh Al-Baihaqi. Ulama lainnya berpendapat: Jika tidak dapat maka bisa dilakukan selagi anak itu belum baligh. Sebab jika melihat bunyi hadits, “maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),” adalah perintah yang bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silahkan lakukan.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan). Perkataan beliau, “ingin menyem-belihkan,” merupakan dalil yang memalingkan perintah aqiqah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.

Untuk lebih mendekatkan kita pada makna aqiqah, marilah kita lihat aqiqah menurut bahasa. Bahwa aqiqah berasal dari kata ‘Aqq yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘aqiqah artinya adalah rambut yang dibawa si bayi ketika lahir. Namun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan. Karena menurut hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda : Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.25-26, mengatakan bahwa: Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya”. Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.” Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (an-nasikah).

Apa batasan “mampu” dalam pelaksanaan aqiqah pada hari ke-7. Jawab : Karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib, maka berbicara tentang kemampuan melaksanakan Aqiqah pada hari ke-7 kelahiran dapat kita lihat hadits dari Imam Ahmad bin Hambal: “Penyembelihan dilakukan pada hari ketujuh, jika tidak maka pada hari keempat belas, dan jika tidak maka pada hari kedua puluh satu.” Pendapat ini sama dengan hadits yg dibawakan oleh Al-Baihaqi. Ulama lainnya berpendapat: “Jika pada hari-hari tersebut di atas belum juga dapat dilakukan penyembelihan maka penyembelihan dapat dilakukan pada hari-hari lainnya yg memungkinkan.” bahkan dalam kitab Al-Majmu‘: 8/323-324 dijelaskan bahwa aqiqah dapat dilakukan pada hari 28, 35 dan seterusnya. (Al-Majmu‘: 8/323-324)

Di dalam kitab Kifayah al-Akhyar ada menyebutkan bahwa bagi yang mampu, masa untuk menyembelih aqiqah itu hendaklah jangan melebihi masa habisnya nifas ibu yang bersalin yakni lebih dari 60 hari. Tapi jika belum juga dapat dilakukan, maka bolehlah dilakukan selepas itu, tetapi janganlah terlewat sehingga anak itu berhenti menyusu (dalam tempoh dua tahun daripada hari kelahiran). Jika tidak dapat dilaksanakan juga, maka bolehlah dilakukan selepas itu, tetapi janganlah terlewat sehingga anak itu berumur tujuh tahun. Jika tidak dilakukannya juga sehingga anak itu berumur tujuh tahun, bolehlah dilakukan selepas itu, tetapi sebelum anak itu mencapai umur baligh. Jika anak itu mencapai umur baligh, maka pada masa itu diberi pilihan kepada anak tersebut untuk melakukan aqiqah bagi dirinya sendiri. Demikian disebutkan dalam kitab Kifayah al-Akhyar: 534.

Kultum 2 Pebruari 2008

Upaya-upaya Peningkatan Kemampuan Mengendalikan Diri

Mengendalikan diri merupakan salah satu kunci untuk meraih kesuksesan seseorang dalam hidupnya sehingga berpeluang bagi diraihnya kebahagiaan dunia dan juga akhirat. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mewujudkan kemampuan mengendalikan diri itu antara lain :

1. Memberdayakan spiritual melalui latihan-latihan (spiritual). Biasanya dengan berpuasa, seperti puasa sunnah senin kamis. Puasa merupakan salah satu media yang tampaknya dirancang Tuhan untuk menciptakan kemampuan mengendalikan diri pada manusia.

2. Memiliki waktu istirahat (tidur) yang cukup dalam arti tidak kurang ataupun berlebih-lebihan. Untuk itu sangat baik, ketika hendak tidur seseorang membiasakan diri dengan berwudhu terlebih dahulu. Sebab salah satu hikmah disyariatkkannya wudhu adalah sebagai pengembali semangat jiwa (tahzibun nufus) sehingga memberikan ketenangan batin dan kelapangan hati.

3. Ketepatan waktu dalam melakukan Shalat Shubuh. Sebab waktu subuh adalah waktu yang sangat dekat dengan aktifitas di siang hari dan merupakan ibadah yang dapat mengencangkan hubungan spiritual manusia dengan Tuhan.

4. Tidak lupa memasang niat untuk dzikir dalam memulai kegiatan, sebab setiap aktifitas yang dilaksanakan demi menegakkan ajaran Tuhan merupakan bagian dari dzikir itu sendiri. Dan zikir tidak serta merta hanya lantunan kalimat-kalimat zikir dari lidah atau mulut. Dan dengan dzikir akan dapat mencerahkan qalbu manusia sekaligus dapat mewujudkan kemampuan mengendalikan diri.

5. Biasa memenej diri dengan meyakini bahwa syaitan selalu berada disisi manusia yang siap menggelincirkan manusia untuk taat pada Tuhan. Oleh sebab itu dalam setiap aktifitas hendaklah berniat untuk mewujudkan kemakmuran bagi umat manusia melalui kerjanya. Sebab keberadaan manusia di muka bumi ini ditujukan untuk memakmurkan bumi. Pada sisi lain manusia terbaik dalam pandangan Islam adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain disekitarnya.

6. Ketika keluar dari rumah untuk menyelesaikan tugas harian, hendaklah memasang niat dan do’a keluar rumah begitupula ketika naik kendaraan untuk pergi ke tempat kerja juga hendaklah berdo’a kepada Allah agar senantiasa menjaga dirinya dan keluarga yang ditinggalkannya. Dan jangan lupa mengucapkan salam kepada keluarga yang ditinggalkan.

7. Memandang bahwa setiap ajaran Islam memiliki maksud untuk menjaga keselamatan manusia, sehingga tidak menjadikan Islam sebagai agama yang sulit dan menyusahkan melainkan Islam sebagai agama yang ramah dan penuh nilai kasih kepada diri kita.

8. Selalu berusaha untuk merampungkan keseluruhan program kerja.

9. Ketika pulang ke rumah, masuk dengan mendahulukan kaki kanan dan mengucapkan salam sebagai upaya untuk menciptakan suasana islami dan sekaligus do’a selamat yang dituntunkan oleh Nabi saw. Hal ini juga harus dilakukan oleh seluruh anggota keluarga sehingga semua tetap terjaga dalam lindungan Allah secara lahir maupun batin.

10. Setelah berada di rumah, beristirahat dengan niat menjadikan istirahat tersebut sebagai bagian dari kerja besar sebagai khalifah Allah di muka bumi, sehingga dengan demikian istirahat itupun merupakan bagian dari usaha pengendalian diri agar kemudian berorientasi kepada kebaikan dalam aktifitas berikutnya.

Kultum 3 Pebruari 2008

Ummat Islam adalah Ummat yang Unggul

Jika kita membuat suatu kesimpulan, bahwa ummat yang mana dinilai sebagai ummat yang unggul untuk saat ini, tentu kita dapat simpulkan bahwa ummat unggul adalah ummat yang menguasai Ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi. Sebab dengan penguasaan Ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi sekelompok ummat dapat diperhitungkan disegala lapangan kehidupan.

Allah Swt adalah penguasa dari segala Ilmu pengetahuan, yang merupakan bukti kekuasaanNya. Dan Allah akan memberikan ilmu kepada siapa yang dikehendaki Allah untuk menguasai Ilmu tersebut, sehingga orang dianggap sebagai manusia yang unggul. Namun dengan ilmu yang diberikan kepada manusia, belum dapat dari yang lain sebagi “khaira ummah” atau ummat yang unggul, sebelum ilmu itu dapat menjadi alat bagi tegaknya amar ma’ruf dan nahi mungkar serta iman kepada Allah sebagaimana disebutkan Allah dalam (QS. 3/Ali ‘Imran: 110) :

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ

“Kamu adalah sebaik-baik ummat untuk manusia, jika kamu mampu menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta iman kepada Allah”.

Berkaitan dengan hal diatas Muhammad Said Ramadhan al-Buthi memberikan ilustrasi tentang orang tua yang mempunyai dua anak; yang satu baik dan yang satu satunya lagi nakal. Pada suatu saat orang tua itu bermaksud akan memberikan baju baru untuk si anak baik. Namun, sayangnya, ketika sampai di toko, tiba-tiba si anak baik itu banyak membantah dan “ngambek”, yang mengakibatkan orang tuanya memutuskan untuk membelikan (sementara) baju bagus tersebut untuk anaknya yang nakal, sebagai pelajaran dan pendidikan kepada anak yang baik tersebut.

Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa anak yang baik itu adalah symbol orang yang beriman (khairu ummah). Akan tetapi karena mereka tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai khaira ummah, maka keunggulan (untuk sementara) ditarik dari tangan mereka, sampai mereka sadar atas kekeliruannya dan mau menjalankan tugasnya sebagaimana yang diinginkan Tuhan.

Gambaran diatas kiranya benar terjadi dan dibuktikan oleh kenyataan sejarah bahwa dahulu umat Islam memang pernah unggul dan memimpin kemajuan peradaban umat manusia, khususnya pada zaman keemasan di abad 8 sampai abad ke 13 M. Keunggulan Ummat Islam Menurut para ahli sejarah telah menguasai lebih dari separuh dunia Barat. Dan ummat Islam kala itu adalah ummat penguasa, karena memang mereka benar-benar yakin terhadap Islam sebagai agama kebenaran yang dapat menjadikan mereka menjadi ummat yang unggul dari ummat yang lain ketika itu.

Disamping itu mereka sangat antusias untuk mencari ilmu pengetahuan dan keahlian, sebab hal itu merupakan ajaran Islam dan merupakan akar dari keseluruhan missi yang dibawa para Nabi-nabi terdahulu.

Keimanan dan keilmuan serta ketaqwaan merupakan gabungan yang harus melekat dan terpatri dalam diri seorang muslim agar ia dapat menjadi bagian dari sebaik-baik ummat seperti yang dinyatakan Allah dalam ayat diatas.

Kultum 4 Pebruari 2008

Ukhuwwah dan Tim Kerja

Bagi suatu perusahaan pembentukan tim kerja merupakan suatu keharusan untuk ditegakkan agar usaha dan cita-cita perusahaan dapat tercapai dengan sempurna. Al-qurán sendiri mengajak ummat Islam untuk saling bersatu, dan saling tolong menolong untuk suatu kebajikan, sebagaimana firman Allah :

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan kamu saling tolong dalam dosa dan permusuhan, dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha pedih siksaanNya“ (QS.5/al-Maidah:2).

Membina kebersamaan sangat dianjurkan Islam sebagai upaya menunjang keberhasilan manusia melaksanakan tugas kekhalifahan yang diamanahkan Allah kepadaNya. Tugas kekhalifahan itu adalah tugas manusia untuk memakmurkan bumi, termasuk mengolah hasil alam yang dianugerahkan Allah, sehingga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan seluruh ummat manusia.

Bahkan Allah menilai bahwa kebersamaan itu merupakan ciri manusia yang berketaqwa kepada Tuhan karena dengan kebersamaan merupakan upaya manusia agar terhindar dari siksaan Allah swt karena Allah sangat benci terhadap sikap saling bermusuhan atau berpecah belah terutama dengan sesama ummat Islam.

Untuk itu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) perlu dijaga untuk menjalin tegaknya etos kerja, kedisiplinan, rasa kebersamaan senasib sepenanggungan, serta saling membagi ilmu dan ketrampilan. Sedangkan lemahnya ukhuwwah ummat Islam yang ditandai dengan kurangnya kemampuan ummat Islam dalam menjaga kekompakan kerja dapat melemahkan manajemen dan pengelolaan sumber daya dalam anggota kelompoknya sehingga masing-masing bersikap indivudualis. Kesalahan dalam menjalankan ajaran agama adalah apabila ummat Islam cenderung mengajak kelompoknya untuk membenci dan tidak terlalu berambisi mengejar dunia, sehingga akhirnya ummat menjadi tidak agresif, tidak kreatif dalam berusaha dan mengembangkan ajaran Islam.

Ada tiga bagian yang harus membentuk tim kerja dalam kelompok ummat Islam yaitu: Pengelola Inti (manajer), para ahli dan perencana (orang-orang ahli dalam bidangnya masing-masing) dan Karyawan. Ketiga anggota ini harus didukung oleh satu kelompok lagi yakni masyarakat (Konsumen), mereka juga harus dilibatkan.

Sedangkan kendala Tim Kerja yang sering kita hadapi adalah kurangnya kesadaran anggota kelompok untuk turut terlibat dalam pemikiran guna menunjang cita-cita bersama. Sedangkan kendala lain adalah perbedaan masing-masing dalam memandang tugas yang diembannya, termasuk perbedaan cara menyelesaikan pekerjaan dan waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikannya. Namun perbedaan yang ada bukanlah merupakan suatu hal yang harus dimusuhi namun harus diatur sedemikian rupa melalui jalan musyawarah dan mufakat mencari jalan keluar yang terbaik.

Islam sangat membenci perpecahan dalam ummat Islam sebab itu dapat melemahkan jiwa dan kekuatan ummat, bahkan apabila ada perbedaan pendapat dalam kelompok harus dipandang sebagai suatu rahmat agar kebersamaan dapat tetap terjaga. Nabi sendiri bersabda yang artinya kurang lebih : “perbedaan dikalangan ummatku merupakan rahmat”.

Kultum 5 Pebruari 2008

TIGA GOLONGAN ORANG YANG TIDAK MASUK SYURGA

Sabda Rasulullah saw. : “Ada tiga orang yang tidak akan Allah masukkan kedalam syurga : Pecandu khamr, (Peminum minuman keras), orang yang durhaka kepada kedua orang tua, dan ADDAYYUS, yakni laki-laki yang membiarkan isterinya berbuat serong”. (HR.Ahmad)

Dalam Hadits diatas Rasulullah saw. menerangkan tentang adanaya tiga golongan orang yang diharamkan oleh Allah masuk kedalam syurgaNya yaitu :

1. Meminum minuman keras.

Sebab diharamkannya minum minuman keras, adalah karena banyaknya bahaya atau mudharat yang ditimbulkannya. Seorang yang berada dibawah pengaruh minuman keras dapat membahayakan orang lain, dan disamping itu pula akibat perbuatan itu dapat menghilangkan akal pikiran sehingga ia tidak dapat melaksanakan perintah Allah seperti sholat.

2. Durhaka Kepada Orang Tua.

Durhaka kepada orang tua artinya tidak mau berbakti kepadanya. Dalam sebuah buku yang berjudul “al-Kabair” yang dikarang oleh ulama kenamaan bernama Adz-Dzahabi disebutkan, bahwa berbakti kepada kedua orang tua mencakup tiga hal yakni : menaati perintahnya yang benar, menjaga amanah yang dipercayakan mereka, dan memperhatikan kebutuhan mereka dan membahagiakan keduanya. Sedangkan bila mereka telah tiada, hanya dengan do’a yang bisa membahagiakan mereka itupun harus didukung oleh kesholehan si anak baru do’a bisa diterima.

3. Ad-Dayyus

Suami yang dayyus adalah suami yang tidak memperdulikan busana yang dikenakan isterinya apakah telah memenuhi syarat penutup aurat seperti busana muslimah, atau mengenakan jilbab. Juga termasuk suami yang dayyus apabila membiarkan isterinya bergaul dan berbicara dengan lelaki yang bukan muhrim tanpa kepentingan yang betul-betul mendatangkan kemashlahatan dan urusan yang benar-benar pokok. Dan termasuk pula suami yang dayyus apabila tidak mencegah atau tidak perduli dan tidak berusaha untuk memperbaiki keluarganya apabila melakukan suatu perbuatan menyimpang dari ajaran agama.

Ketiga golongan diatas merupakan gambaran tentang manusia yang sangat jauh dari syurga dan sangat dekat dengan nereka. Maka oleh sebab itu hendaklah kita senantiasa berupaya dan berusaha agar tidak termasuk salah satu dari mereka dengan berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt.

Kultum 6 Pebruari 2008

TEOLOGI PERDAGANGAN

Rasulullah SAW bersabda :

ﻄﻠﺏﺍﻠﺤﻼﻝ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﺑﻌﺩﺍﻠﻓﺭﻳﺿﺔ

Artinya : “Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah.” (HR.Thabrani dan Baihaqi).

Mungkin tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada agama yang memiliki perhatian yang demikian serius dan sistematis mengenai yang demikian serius dan sistematis kerja dan perdagangan melebihi perhatian agama Islam. Agama ini telah mewajibkan setiap orang untuk bekerja mencari rizqi yang halal, sehingga meskipun ia memiliki uang yang cukup ia masih diwajibkan untuk bekerja dan tetap berdosa apabila ia menganggur.

Dalam pandangan Islam walaupun seseorang sudah tercukupi semua kebutuhannya, keharusan untuk berusaha bekerja masih tetap ada. Kalaupun misalnya seseorang bekerja namun tidak membuahkan hasil bagi dirinya, maka tidak cukup alasan bagi dirinya untuk tidak bekerja, sebab meskipun dengan kerjanya tidak membuahkan hasil dan keuntungan materi bagi dirinya, asalkan orang lain dapat menikmati hasil kerjanya maka dengan demikian ia telah menginfakkan hasil keringatnya kepada orang lain sehingga ia berhak mendapatkan pahala dari sisi Tuhannya.

Dari uraian diatas, jelas tidak ada alasan bagi orang yang beriman untuk menganggur, sehingga Rasulullah menyatakan : “Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah.” (HR.Thabrani dan Baihaqi)

Dalam pandangan Islam kewajiban pokok atas setiap muslim bukan semata terletak pada pelaksanaan shalat, haji atau penunaian puasa saja, namun lebih jauh dari itu ada kewajiban yang tidak kalah pentingnya setelah shalat ditegakkan yaitu kewajiban bekerja. Sehingga orang yang berusaha mencari rizqi yang halal merupakan orang yang berusaha melaksanakan ketaatan atas perintah Allah, sebagaimana pelaksanaan sholat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.

Seorang mukmin yang berupaya untuk berusaha dan bekerja mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, merupakan salah satu bentuk ibadah yang kedudukannya sama dengan pelaksanaan ibadah lainnya. Inilah falsafah hidup seorang mukmin yakni bekerja adalah ibadah, dikarenakan menganggur atau mengandalkan belasan kasih orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup seperti meminta-minta, adalah sangat dicela dalam Islam, Nabi saw. bersabda: “tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah” (al-Hadits).

Kultum 7 Pebruari 2008

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI DALAM ISLAM

Kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu agama, untuk menanyakan sesuatu hal. Aisyah r.a. telah memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat, dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam najis), mandi janabat, dan sebagainya.

Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur’an dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi kehormatan agama, kemuliaan masjid dan kewibawaan para ulama.

Hal itu sesuai dengan apa yang dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini, agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka. Misalkan masalah hubungan antara suami-istri yang pengaruhnya amat besar bagi kehidupan. Sebab kesalahan dalam memahami hubungan suami isteri dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarga.

Agama Islam menjelaskan tentang kehidupan berkeluarga tentang akhlak, tabiat, suluk (adab), dan sebagainya, dalam uraian yang sangat lengkap.

1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia akan adanya dorongan seksual, yang condong dianggap tabu oleh sebagian orang. Padahal Islam melarang bagi orang yang tidak memfungsikannya dan lebih memilih hidup membujang, ketimbang mengikuti sunnah Nabi saw, yaitu menikah. Nabi saw. telah menyatakan : “Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”

2. Islam telah menerangkan mengenai hubungan seksual, sebagaimana dijelaskan dalam hadis: “Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak.” (HR.Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan). Bahkan dalam Islam hubungan suami isteri sebagai sebagai suatu ibadah, sebagaimana keterangan Nabi saw.: “Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik”. Bahkan dianjurkan oleh Nabi saw. supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan yang tepat dan masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak sebab hal itu dapat menimbulkan kemarahan dan menyebabkannya menyimpang kejalan yang tidak baik, atau membuat suaminya gelisah dan stres. Nabi saw. telah bersabda: “Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi.” (HR.Muttafaq Alaih). Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa. Nabi saw. bersabda: “Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya.” (HR.Muttafaq Alaih).

Kultum 8 Pebruari 2008

ADAB HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI DALAM PANDANGAN ISLAM

Perkawinan menjamin terpeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dan hak wanita (istri) dalam segala hal. Nabi saw. sangat mengecam kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam tanpa memperhatikan hak isterinya, beliau bersabda: “Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak.”

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab Ihya’ mengenai adab bersetubuh, beliau berkata: “Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim dan berdo’a, sebagaimana do’a yang diajarkan Nabi saw.: “Ya Allah, jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku’.” Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya jika do’a tersebut dibacakan niscaya : “Jika mendapat anak, maka tidak akan diganggu oleh setan.”

Al-Ghazali berkata, “Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas”. Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana dilakukan Rasulullah saw..

Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’aad Fie Haadii Khainrul ‘Ibaad, mengenai sunnah Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh. Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: Hikmah utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:

1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah ummat seperti yang ditetapkan menurut takdir Allah.

2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.

3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.

Sedangkan hikmah kejiwaan yaitu : Dapat menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa sehingga peluang berbuat serong bagi kedua pasangan tidak terjadi. Nabi saw. telah menyatakan: “Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan wewangian.”

Selanjutnya Nabi saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan.”

Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua pasangan suami istri, seperti telah diterangkan dalam Al-Qur’an : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu” (Q.s. Al-Baqarah: 187).

Bahkan tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, seperti yang telah disebutkan, dalam al-Qur’an yaitu: “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Q.s. Al-Baqarah 187). Inilah ayat yang menunjukkan betapa besar perhatian Islam tentang hubungan suami isteri, tidak ada satupun kitab suci yang dapat menerangkan hal itu kecuali al-Qur’an.

Kultum 9 Pebruari 2008

KEUTAMAAN TAWAKKAL

Allah ta’ala berfirman: “Dan, barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (Ath-Thalaq:33)

Di dalam hadits diriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa diantara ummatnya terdapat tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Kemudian beliau bersabda, “Yaitu mereka yang tidak membual, tidak mencuri, tidak membuat ramalan buruk dan kepada Rabb mereka bertawakkal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikan kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia kan menganugerahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang”. Diantara do’a yang dibaca Nabi saw. ialah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepada-Mu untuk mencintai-Mu daripada amal-amal, kebenaran tawakkal dan baik sangka kepada-Mu”. (Hadits mursal, diriwayatkan Abu Nu’aim)

Tawakkal harus didasari oleh rasa ketauhidan kepada Allah, seperti yang terangkum dalam kalimat la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir, yang artinya : “Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu baginya dan miliknya seluruh kerajaan dan hanya miliknyalah seluruh pujian dan ia berkuasa atas segala sesuatu”.

Kalimat diatas adalah kalimat tauhid yang harus kita tanamkan dalam rangka bertawakkal kepada Allah, sehingga kita benar-benar yakin atas kemaha kuasaan Allah diatas kekuasaan semua makhluk ciptaanNya. tidak ada yang lebih kuat dan hebat kecuali Allah swt. zat yang menciptakan segenap makhluk, dan makhluknya tidak memiliki daya apapun kecuali atas izin Allah sebab Allah adalah Tuhan yang menciptakan mereka dan berhak untuk berbuat apa pun menurut kehendak-Nya.

Orang yang bertawakkal adalah orang yang menyerahkan urusannya kepada sesuatu, yang bisa saja ia dilakukan kepada siapa saja selain Allah. Ada orang yang bertawakkal atau bersandar kepada kekuatan makhluk halus, jin, dukun, jimat, dan benda-benda yang dianggap memiliki keampuhan yang luar bisa, seperti cincin, keris, batu, patung dll. Dalam hal ini jelas itu merupakan dosa besar karena manusia telah menjadikan makhluk sebagai sandaran kekuatan bukan Allah swt. sehingga merupakan perbuatan syirik yang dosanya tidak terampuni.

Kepada orang mukmin Allah berpesan dalam al-Qur’an : “Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-oang Mukmin berTAWAKKAL”. (Ali Imran: 22). Sebab pada hakekatnya tidak ada kekuatan yang bisa menandingi kekuatan Allah, lalu mengapa manusia masih saja mencari tandingan-tandingan lain selain Allah, yang dapat menjerumuskan mereka kedalam kesesetan didunia dan di akhirat.

Kesimpulannya, orang mukmin yang bertawakkal kepada Allah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak itu bahkan tidak percaya kepada siapapun selain ibunya, sebagaimana seorang mukmin yang tidak akan pernah mau bergabung dengan kekuatan apapun selain Allah swt. Jika menghadapi suatu masalah, seorang anak kecil pertama kali terlontar dari lidahnya ucapan, “Ibu..!” dan begitupula gambaran orang yang pasrah kepada Allah, ketika ia berhadapan dengan suatu masalah, ia hanya berucap ‘La haula wala quwwata illa billah’, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan bersandar kepada Allah.

Kultum 10 Pebruari 2008

Bentuk-BENTUK keberkahan

Keberkahan sebagai anugerah Allah kepada manusia dalam berbagai bentuknya dapat dirinci sebagi berikut :

1. Keberkahan dalam keturunan, yakni dengan lahirnya generasi-generasi muda yang memiliki keunggulan akhlak dan keilmuan yang tinggi di segala bidang. Contohnya, keberkahan yang diberi Allah kepada Nabi Ibrahim, berupa keturunan yang baik yakni anaknya Ismail as. dari isterinya Siti Hajar, dan Ishak as. dari Siti Sarah. Kala itu Nabi Ibrahim As hampir putus asa akan memperoleh keturunan, karena ketuaannya. Akan tetapi karena rahmat dan keberkahan Allah, akhirnya ia memperoleh keturunan, seorang putera bernama Ishak as. sehingga Ibraham menjadi bahagia dan tenteram (QS.Hud 11:73).

2. Keberkahan dalam soal makanan, yakni dengan diberikannya pertumbuhan fisik dan kesehatan kepada manusia. Maka oleh sebab itu dalam rangka meraih keberkahan dalam soal makanan, kita dituntun agar mengkonsumsi makanan yang halal dan tidak melampaui batas (tidak belebihan)

3. Keberkahan dalam hal waktu, seperti memiliki waktu yang cukup untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Allah berjanji akan memberikan balasan yang baik dan kemudahan-kemudahan (berkah) bagi mereka yang dapat mempergunakan waktu dengan baik serta memanfaatkannya untuk melaksanakan perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah sebagai suri tauladan yang paling baik dalam menggunakan waktu.

Karena keberkahan terdapat dalam berbagai aspek kehidupan, maka Allah mengungkapkan kata berkah dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak (plural). Dan Untuk memperoleh keberkahan tersebut Allah memerintahkan :

1. Mengikuti petunjuk Al-Qur’an dalam melakukan usaha dan aktifitas, serta tidak mengingkarinya (lihat S.6/al-An’am:66).

2. Mensyukuri segala pemberian Allah dan bermanfaatkannya untuk kehidupan manusia (lihat QS.50/Qat:9)

3. Memiliki sikap yang memandang bahwa manusia di sisi Allah sama dan sejajar. Sehingga dengan demikian timbul egalitarisme (persaudaraan) dan pergaulan yang membawa keberuntungan (QS.22/al-Nur:61)

4. Memiliki keseimbangan visi atau pandangan mengenai kehidupan dan keakhiratan, rohani dan jasmani, dunia dan akhirat.

5. Memiliki etos kerja dan keikhlasan/ketulusan dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.

Penutup dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberkahan merupakan bagian integral dan tak terpisahkan dari kesuksesan seorang yang beriman. Dan orang yang ingin memperoleh keberkahan tidak boleh mengabaikan pentingnya etos kerja dan kesungguhan, sebab dari sanalah akan diperoleh kehidupan yang berkah yang merupakan anugrah Allah itu.

Kultum 11 Pebruari 2008

KESIMPULAN TAFSIR SURAT AN-NISA :1-3

Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi (w. 468 H/1076 M) dalam bukunya Asbab al-Nuzul menceritakan bahwa pada waktu itu ada seorang laki-laki yang mempunyai anak yatim dan dia langsung sebagai walinya. Anak yatim itu punya beberapa harta, maka Nabi saw berkata, “Janganlah ia nikahi karena mengharapkan hartanya, lalu ia disakiti dan disia-siakan kesehatannya. Karena itu, jika takut tidak berlaku adil terhadap anak yatim itu, kawinilah perempuan lain dan diperbolehkan ia membatalkan niat untuk kawin dengan anak yatim itu”.

Al-Thabari, salah seorang penafsir yang terkemuka, juga mengutip para ahli tafsir yang berpendapat bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan seorang laki-laki yang mengawini sepuluh istri atau lebih, dan kemudian mengambil kekayaan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya untuk kepentingan dirinya sendiri ketika dia membutuhkan (karena dia harus membiayai istri-istrinya yang banyak), dia mengambil dari harta anak yatim.

Firman-Nya maka kawinilah apa yang kamu senangi, bukan siapa yang kamu senangi, bukan maksudnya bahwa wanita itu kurang berakal sehingga disebut dengan pertanyaan yang dimulai dengan apa (ma) Tetapi al-Qur’an menggunakan kata ma untuk menekankan sifat wanita itu, bukan orang tertentu, nama atau keturunannya. Tetapi pertanyaan kepada status, “Siapa yang dia kawini?” maka Anda menanti jawaban tentang wanita tertentu, namanya, dan anak siapa dia. Sedang bila Anda bertanya dengan menggunakan kata apa , maka jawaban yang Anda nantikan adalah sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya janda atau gadis, cantik atau tidak, dan sebagainya.

Ayat ini tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini berbicara tentang kebolehan poligami, dan itu pun merupakan pintu yang boleh dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tertentu. Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang poligami dalam syariat al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.

Adalah wajar bagi satu perundangan apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi seperti agama Islam ini, mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan “kemungkinan”. Padahal data-data sudah menunjukan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit daripada jumlah wanita, peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat dicegah telah merenggut banyak nyawa kaum lelaki ketimbang wanita, lalu apa jalan keluar bagi seorang suami yang dapat diusulkan untuk menghadapi kemungkinan ini?

Dalam konteks ini, poligami adalah jalan yang paling ideal. Tetapi, ini diserahkan kepada masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Qur’an memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu seperti yang dikemukakan di atas. Masih banyak kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup pintu poligami dengan syarat-syarat yang tidak ringan itu.

Kultum 12 Pebruari 2008

TAFSIR SURAT AN-NISA :3

Akan tetapi, realitas menunjukkan, tidak sedikit para wali yang kemudian berlaku curang terhadap anak-anak yatim yang berada dalam perlindungannya dengan tidak memberikan harta mereka walaupun mereka sudah dewasa dan mampu menjaga hartanya sendiri. Kecurangan lain yang dilakukan para wali adalah menukar barang-barang anak yatim yang baik dengan yang buruk atau mereka memakan harta anak yatim yang tercampur di dalam harta mereka. Tradisi jahiliyah yang keji dan tidak adil itu rupanya berlanjut ke masa awal Islam dan ayat ini turun untuk mengecam ketidakadilan tersebut.

Allah sangat mengecam perilaku culas dan ketidakadilan para wali terhadap anak-anak yatim yang berada dalam asuhan mereka. Dan untuk menghindari perilaku dosa dan zalim tersebut, Allah selanjutnya menunjukkan jalan keluar sebagaimana terbaca dalam ayat ketiga dibawah ini :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

Artinya : “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Qs. Al-Nisa [4]:3).

Para mufassir sepakat bahwa sebab turun ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Aisyah ra. Menuturkan bahwa ayat ini turun menyangkut sikap sementara orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik dan berada dalam perwaliannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil.

Dari Ibn Syihab berkata aku menerima berita dari Urwah bin al-Zubair bahwa dia bertanya kepada Aisyah r.a. tentang firman Allah “wa in khiftum alla tuqsithu sampai waruba.” Aisyah berkata, “wahai anak saudara perempuanku, itu berkaitan dengan masalah anak yatim yang berada di bawah asuhan walinya punya harta kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya,dan harta serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim ini senang padanya lalu ia ingin menjadikan perempuan yatim ini sebagai istrinya, tapi tidak mau memberi mas kawin kepadanya dengan adil, yaitu memberikan mas kawin yang sama dengan mas kawin yang diberikan kepada perempuan lain. Maka pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini mereka kecuali mau berlaku adil, mereka disuruh kawin dengan perempuan lain yang disenanginya. Urwah berkata, “Aisyah berkata, ‘lalu orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw setelah turun ayat diatas, kemudian Allah menurunkan ayat wayastaftunaka fi al-Nisa’ sampai firman-Nya watarghabuna an tankihuhunna. Yang dimaksud firman Allah yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an adalah ayat yang pertama, yaitu ayat wa in khiftum alla tuqsithu fil yatama fankihu ma thaba lakum minan nisa’. Aisyah berkata dan firman Allah dalam ayat lain watarghabuna an tankihuhunna kamsudnya adalah diantara kalian ada yang bermaksud menikahi anak yatim yang berada di bawah pengasuhannya yang tidak mempunyai harta yang banyak dan tidak terlalu cantik, maka mereka dilarang untuk menikahinya karena harta dan kecantikannya kecuali dengan sikap adil”.

Kultum 13 Pebruari 2008

Etos Kerja Baru yang dibangun setelah melakukan suatu Ibadah

Etos Kerja Baru dapat diperoleh setelah melakukan suatu Ibadah yang ditandai dengan cara pandang seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sungguh-sungguh dan kerja secara keras (al-Juhdu fi al-‘amal).

Kerja keras merupakan salah satu ciri etos kerja Islami, sehingga Allah memberikan nilai positif atas kerja keras seseorang sebagaimana dalam salah satu hadits, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah mencintai hambanya yang bekerja dan terampil. Barang siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah SWT “ (H.R.Ahmad).

Etos Kerja melahirkan cita-cita yang tinggi, berupa sikap yang selalu ingin meningkatkan kualitas kerja sehingga karir akan terus meningkat. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan karirnya melalui peningkatan kualitas kerja, yaitu dengan memperhatikan hal-hal berikut :

1. Bekerja secara sholeh yakni secara baik dan jujur, supaya mendapat kepercayaan dari setiap orang. Kepercayaan merupakan nilai yang tidak dapat diukur dengan materi apapun. Oleh karena itu sebagian orang berpendapat bahwa kepercayaan merupakan tabungan yang tidak pernah habis. Kepercayaan akan terus memberikan buah, baik berupa materi maupun immateri, seperti pertolongan dan lain sebagainya.

2. Selalu mengupayakan agar tempat bekerja memperoleh hasil dan keuntungan yang terus meningkat sehingga kelanggengan usaha dapat terus terjaga sehingga banyak orang yang terbantu dari keuntungan usaha yang terus meningkat. Menurut Islam sebaik-baik manusia disisi Allah adalah orang yang berguna bagi orang lain, sehingga manakala seseorang bekerja dan hasil kerja itu dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat luas maka, ia akan mendapatkan pahala dan menurut Islam ia dikategorikan sebagai orang yang paling baik.

3. Meningkatkan ilmu dan mengasah keterampilan di tempat bekerja, sehingga memungkinkan baginya mendapat kepercayaan untuk mengemban tugas yang lebih penting dalam perusahaan.

4. Menabung. Yakni menysihkan sisa dari penghasilan dengan cara berhemat adalah cara berinfestasi dalam rangka menyongsong masa tua. Sebab Islam sudah mengajarkan untuk modal di masa bahwa setiap muslim hendaklah mempersiapkan untuk masa kedepan. Jadi pada hakekatnya orang yang beretos kerja tinggi adalah orang-orang yang mau menyisihkan sedikit penghasilannya dan berhemat untuk berinfestasi.

5. Bertakwa kepada Allah dengan mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah (dekat kepada Tuhan) sebab diyakini orang yang menempuh jalan Zakat tidak akan mengurangi penghasilan, namun secara tidak sadar akan menambah penghasilan kelak, tentunya dari jalan yang hanya Allah yang mengetahuinya. Justru orang yang tidak berzakat, akan berkurang hartanya karena adanya kemungkinan seperti azab atau cobaan yang datang dari Allah seperti misalnya sakit parah atau kehilangan harta yang secara tidak sadar artinya adalah pengeluaran uang.

Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa setiap ibadah dalam Islam memiliki implikasi kepada peningkatan etos kerja berikutnya. Sehingga ibadah yang maqbul seyogianya dapat meningkatkan taraf hidup dan kualitas kehidupan seseorang.

Kultum 14 Pebruari 2008

Amal yang dilihat Allah

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian.” (HR. Muslim)

Banyak definisi yang diberikan untuk memaknai kata ikhlas, namun dari sekian banyak pengertian yang didefinisan oleh para ulama itu tujuannya adalah sama. Misalkan ada ulama yang berpendapat, ikhlas artinya mengkhususkan Allah sebagai tujuan dalam amal perbuatan. Dan ada pula yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri harus bersih dari sifat riya’ dan takabbur. Sebab banyak orang yang amal nya menjadi tidak ikhlas karena masih munculnya sifat riya’ dan ujub dari dalam dirinya.

Al-Fudhail berkata, “Meninggalkan amal karena tidak ada perhatian manusia adalah riya’, Mengerjakan amal karena mengharap perhatian manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah meninggalkan keduanya”.

Al-Junaid berkata, “Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat sehingga dia menuliskannya sebagai amal, tidak diketahui oleh syetan sehingga dia tidak dapat merusaknya, dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia tidak dapat melencengkannya.”

Yusuf bin Al-Husain berkata. “Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya’ dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam bentuk rupa yang lain.”

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran.” Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya seperti kehendak-kehendak nafsu karena ingin memperlihatkan amal itu agar tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, pengagungan dan sanjungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai keinginan selain Allah”.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya’, berperang karena keberanian dan berperang karena kesetiaan, manakah diantaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, “Orang yang berperang agar kalimat Allah lah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah”.

Dari beberapa pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa keikhlasan itu sangat penting ditanamkan dalam hati sehingga amal perbuatan seorang hamba dapat diterima oleh Allah swt. sebab Allah berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS.Al-Bayyinah:5)

Kultum 15 Pebruari 2008

Implikasi Pensucian Diri

Pensucian diri yang dilakukan seseorang dengan mengerjakan perintah-perintah wajib maupun sunnah sebagaimana yang dituntunkan olah Nabi saw. baik melalui hadits-hadits mupun petunjuk Tuhan dari ayat-ayat Al-qur’an akan berpengaruh pada tiga hal :

1. Meningkatnya kesetiaan dan kesemangatan untuk tetap menjaga dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dalam sikap tingkah lakunya.

2. Memberi dorongan untuk melakukan perlawanan terhadap ajakan syaitan dan hawa nafsu yang cenderung pada pengrusakan kesucian diri (fitrah) manusia.

3. Memberi dorongan untuk kembali kepada keutuhan manusia sebagai makhluk dengan kapasitas akal, agama dan panca indra, sehingga memiliki kecenderungan untuk menghargai dan mencari ilmu pengetahuan dan ketrampilan.

Dengan adanya ketiga dampak tersebut dalam diri seseorang, secara otomatis akan mendorong bagi peningkatan produktifitas atau keberdayaan seorang muslim dalam berbagai bentuk kegiatan yang ditekuninya. Sebab lemahnya tingkat produktiftas seseorang dalam kegiatannya biasanya dikarenakan oleh paling tidak :

1) Kurangnya ilmu pengetahuan dan ketrampilan, karena kapasitas kemanusiaannya telah hilang sehubungan kondisi dirinya yang buruk.

2) Memuncaknya dorongan hawa nafsu dan syaitan dalam diri seseorang, sehingga akan mengakibtakan munculnya dorongan untuk melakukan sikap-sikap negatif seperti malas, boros, curang dan menempuh jalan dan cara-cara yang tidak halal, dsb.

3) Kurangnya komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai rohanian dan spiritual, sehingga mengakibatkan manusia kehilangan kontrol dan keseimbangan hidup sehingga lebih ngotot pada kehidupan duniawi dan benci pada kematian. (hubbud dunya wa karahiyatul maut)

Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi fitrah (kesucian diri) manusia erat sekali hubungannya dengan produktifitasnya. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa degan melakukan pensucian diri, dengan cara pelaksanaan ibadah dengan penuh penghayatan, akan memberi dampak secara langsung pada peningkatan kualitas hidup seorang muslim.

Kultum 16 Pebruari 2008

Jihad Melalui Kerja

Sebagai konsekuensi dari posisi manusia sebagai khalifah Allah di permukaan bumi, maka kehidupan manusia dengan sendirinya, adalah merupakan jihad berdasarkan pada firman Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ, تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui ” (QS.61/Shaf:10-11).

Dengan panafsiran sederhana terhadap ayat tersebut di atas, dapat diketahui bahwa perniagaan merupakan jihad yang terbaik, jika saja manusia mengetahuinya. Maka untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengertian Jihad ini, perlu kita ketahui bahwa ‘Jihad’ dalam berbagai bentuknya diulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qurán. Kata tersebut berasal dari kata ‘juhdun’ dan ‘jahada’ yang berarti kekuatan, kemampuan, kesulitan dan kelelahan. Dengan demikian kata jihad mengandung muatan, harus lelah, harus kuat, harus mampu, harus berhadapan dengan kesulitan, sebagai upaya yang sungguh-sungguh. Dengan demikian Jihad pada umumnya mengandung resiko, kesulitan, dan kelelahan dalam pelaksanaannya. Itulah sebabnya Jihad seringkali diindentikkan dengan upaya perang di jalan Allah, namun pengertian jihad yang lebih luas adalah melakukan berbagai aktifitas dalam rangka mentaati perintah Allah.

Perniagaan dapat dipandang sebagai jihad, berdasarkan dua alasan :

Pertama, Perniagaan dan usaha yang dijalankan tersebut menyangkut kepentingan primer atau kepentingan pokok hidup manusia.

Kedua, Islam memandang bahwa manusia yang terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain, sebagaimana Rasulullah menyebutkan dalam sebuah hadits :

“sebaik–baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia”

Dengan dua alasan diatas, dimana suatu usaha atau perniagaan dapat dikatakan sebagai jihad apabila kehadirannya ditengah masyarakat dirasakan cukup memberi arti bagi dipenuhinya kepentingan orang banyak, dan memberikan manfaat besar kepada khalayak, maka apabila kedua alasan tersebut dapat kita terima menjadi dasar bagi jihad dalam perdagangan maka ada tiga hal lagi yang perlu diperhatikan dalam mengelola perusahaan, khususnya perusahaan makanan dan minuman.

1. Motivasi dilakukannya usaha haruslah dalam rangka ketaatan kepada Allah. Akan tetapi jika motivasinya tidak etis maka nilai dari usaha yang dijalankan itu tidak memenuhi kriteria jihad.

2. Proses yang dilakukan harus Islami, artinya proses harus dijalankan berdasarkan nilai-nilai ajaran yang diterapkan Allah.

3. Out put atau hasil usaha yang berorientasi pada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.

Apabila ketiga syarat ini terpenuhi, maka sebuah usaha dapat disebut sebagai jihad yang dapat menghindarkan pelaksananya dapat azab yang pedih. Tegasnya sebuah usaha haruslah berorientasi rabbaniyah dan insaniyah. Rabbaniyah dalam arti mengarahkan pelaksanaannya pada ketaqwaan dan lebih menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan Insaniyah dalam arti menjaga sisi- sisi kemanusiaan dalam proses dan pelayanan kepada orang-orang yang terkait dalam pelaksanaan usaha.

Kultum 17 Pebruari 2008

KAYA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Al-Quran al-Karim menggunakan kata ghaniy atau aghniya’ untuk menyebut orang kaya atau orang-orang kaya. Kata ghaniyy juga merupakan salah satu dari asma’ al-husna, yang menunjukkan bahwa Allah Swt. memiliki sifat kaya yang tidak butuh kepada pertolongan siapa pun.

Dalam Islam, kata-kata kaya memiliki tiga konotasi makna. Pertama, kaya dalam arti kepemilikan harta, shahib al-mal al-kasir (orang-orang yang mempunyai banyak harta). Kedua, kaya dalam arti kepemilikan ilmu dan amal, seperti tergambar dari bunyi sya’ir ; “Seseorang belum tentu disebut kaya kalau hanya karena hartanya, tetapi yang disebut kaya adalah orang yang kaya ilmu dan amal”. (Laisa al-ghina al-mal walakinna al-ghina gina al-‘ilmu wa al-‘amal). Ketiga, kaya dalam konteks al-Qur’an adalah kemampuan menjaga marwah atau harga diri, sebagaimana tergambar dalam surat 2/al-Baqarah ayat 273, yang artinya : “(Sedekah itu) untuk golongan orang fakir yang membatasi diri hanya di jalan Allah dan tak dapat bepergian di bumi (mencari nafkah); orang yang tidak tahu mengira mereka orang kaya, karena sikap harga diri akan kamu kenal mereka dari ciri-ciri mereka; mereka tidak meminta-minta kepada orang dengan mendesak dan segala yang baik kamu sumbangkan, sungguh Allah mengetahuinya.

Al-Qur’an menjelaskan beberapa karakter yang harus dimiliki oleh para aghniya’. Diantaranya.

Pertama, selalu menyadari bahwa apa yang dimilikinya merupakan karunia dari Allah SWT. Dengan demikian ia tidak menyombongkan diri, dan bahkan ia merasa miskin bila dibanding dengan kekayaan Allah SWT. Terdapat sejumlah ayat yang menyindir orang kaya yang cenderung menyombongkan diri. Seperti firman Allah yang artinya : Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya kaya, serta mendustakan pahala yang terbaik maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar, dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa. (Q.S.92/al-Layl:8-11).

Kedua, memiliki kesediaan untuk berjihad dengan harta dan fasilitas yang dimilikinya untuk kemajuan agama dan tegaknya kebenaran. Sedemikian pentingnya komitmen pada jihad ini hingga Allah SWT mencela orang kaya yang tidak melakukannya.

Ketiga, memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain yang sangat membutuhkan bantuannya dan memiliki rasa keadilan yang tinggi. Sebagaimana tergambar dalam Al Qur’an surat Al Hasyr ayat 7 : “Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Rasul anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (Q.S.59/al-Hasyr:7).

Keempat, Dia merasa tenang dan bahagia dengan kekayaan yang dimilikinya. Sebab kekayaan itu sendiri dicari sebagai upaya untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan tersebut. Untuk itu hendaklah merek memiliki karakter seperti yang diajarkan agama yaitu :

1. Menjadi pelindung bagi orang-orang mukmin agar mereka dapat memperjuangkan kemajuan agamanya.

2. Menjadi pembela bagi orang-orang yang ingin memperjuangkan kemajuan agamanya.

3. Bertindak sebagai tiang penyangga bagi kesejahteraan masyarakatnya.

Dari kajian di atas dapatlah diketahui bahwa Islam menempatkan orang-orang kaya yang shaleh pada posisi yang baik dan memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada orang-orang yang kaya yang shaleh. Akan tetapi mereka harus menjadi kaya yang menaati fungsinya sesuai dengan harapan pemberi kekayaannya, yaitu Allah SWT.

Kultum 18 Pebruari 2008

Menanamkan Kebiasaan yang baik dalam etika hidup dan pergaulan untuk anak

Menurut Ahmad Izuddin Al Bayanuni, dalam buku Minhaj At Tarbiyah Ash-Shalihah. hendaklah orang tua membiasakan anak di usia 6 (enam) tahun pertama dengan :

1. Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak memulai sesuatu misalnya hendak makan.

2. Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika melanggar, diperingatkan dan dipindahkan ke tangan kanannya secara halus.

3. Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.

4. Dilarang tidur telungkup dan dibiasakan tidur dengan miring ke kanan.

5. Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek bagi anak putra, dan mengenakan jilbab bagi putri supaya tumbuh kesadaran menutup aurat.

6. Dicegah agar tidak menghisap jari dan menggigit kukunya untuk menghindari penyakit.

7. Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus makan.

8. Dilarang bermain dengan hidungnya, kupingnya, atau anggota tubuhnya yang fital.

9. Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.

10. Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.

11. Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.

12. Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.

13. Dibiasakan menjaga kebersihan mulut dengan menggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.

14. Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya dan anak-anak tetangga yang lebih kecil darinya, jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.

15. Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali.

16. Dibiasakan membaca “Alhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan “Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.

17. Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.

18. Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.

19. Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).

20. Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.

21. Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan. Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menyingkirkan kotoran dari jalan.

22. Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.

23. Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan budi bahasa yang baik.

24. Dibiasakan menuruti perintah yang benar dari orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya. Bila ia membantah, diperingatkan supaya menerimanya dengan ikhlas, jika tidak memungkinkan, boleh dipaksa karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah.

25. Hendaknya kedua orang tua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangannya. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.

26. Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.

Demikianlah beberapa kebiasaan yang harus ditanamkan kepada anak untuk membentuk karakter dan akhlak Islami sejak dini kepada mereka.

Kultum 19 Pebruari 2008

Kebutuhan Manusia Terhadap Do’a

Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki rasa cemas dan mengharap, terutama saat ia menghadapi masa-masa sulit dan mencekam dalam hidupnya.

Adalah suatu kenyataan pula bahwa dalam kehidupannya sehari-hari, manusia seringkali menyandarkan dirinya kepada makhluk lain, meskipun penyandaran diri itu sering tidak membuahkan hasil yang diharapkan, jika bukannya mengecewakan.

Disinilah Islam menawarkan konsep do’a, media atau metode yang dapat digunakan untuk memohon, meminta dan mengharap, langsung kepada Allah, pencipta dan pengatur alam semesta, melalui do’a baik dilakukan secara sendiri maupun secara bersama. Seperti istighasah, do’a bersama, do’a selamat, do’a tolak bala, dan sebagainya.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa kekuatan do’a hanya berfungsi untuk kejiwaan saja. Artinya ia berfungsi dan efektif untuk untuk menciptakan ketenangan dan jiwa dari sesuatu yang mencemaskan dan menghawatirkan, dari kegundahan atau kelabilan kejiwaan. Pendapat tersebut di atas dianut sebagian pembaharu muslim, seperti Sayyid Ahmad Khan, pemikir India.

Dalam kajian-kajian Islam do’a didefinisikan sebagai, permohonan dari bawah ke atas. Jadi permohonan dari seorang hamba kepada Tuhan-Nya, mengenai sesuatu yang dia anggap sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu do’a berarti memanggil atau meminta.

Didalam al-Qur’an banyak isyarat Allah yang berkaitan dengan keharusan manusia untuk berdo’a kepada-Nya. Diantaranya, firman Allah SWT : Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS.7/al-A’raf:55).

Pada ayat lain disebutkan : “ Berdo’alah, niscaya akan kukabulkan permintaanmu ” (QS.al-Mu’min/40:60)

Sebagai suatu kegiatan yang sakral, maka berdo’a menghendaki tata cara seperti yang diajarkan ayat-ayat al-qur’an dan Hadis Nabi yang secara umum dapat disimpulkan kepada empat langkah.

Pertama, do’a hendaklah dimulai dengan memuji dan berterima kasih atas nikmat dan anugerah Allah, atas terima segala kasih sayangnya. Biasanya diucapkan dengan : Alhamdulillahi rabbil ’alamin.

Kedua, shalawat kepada Rasulullah sebagai tanda terima kasih atas kasih sayangnya, dan dengan harapan memperoleh percikan kasih sayang tersebut. Biasanya diucapkan dengan : Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad … dst.

Ketiga, mengajukan permohonan ampun dirinya kepada Allah, Biasanya diucapkan dengan : Allahummagfir li …. Sembari memohon juga kepada orang lain. Biasanya diucapkan dengan : Allhummagfir lil mukmnin wal mukminat …dst.

Keempat, akhirilah do’a dengan mensucikan Allah dari segala kekurangan. Biasanya diucapkan dengan : subhanallah amma yasifun …dst.

Sedangkan Makna do’a itu sendiri adalah : Kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah dihadapan Allah, Keyakinan diri akan berhasil dengan do’a, Usaha-usaha Manusia yang konkrit memanjatkan do’a, Mohon maaf atas kesalahan & kesilapan.

Syarat Terkabulnya Do’a antara lain : Setia menaati perintah Allah dan melaksanakan ajaran agama, berbaik sangka kepada Allah bahwa tidak akan menyia-nyiakan kita sebagaimana keyakinan anak pada ayahnya bahwa dia tidak akan menyia-nyiakannya, ketulusan dan tidak berprasangka kurang baik kepada Allah.

Do’a adalah permohonan seorang hamba kepada Tuhannya, saat paling dekat antara manusia dengan Allah adalah pada saat sedang sujud dalam sholat, maka dianjurkan Nabi agar kita memperbanyak do’a ketika itu. Juga pada saat kita dalam kondisi kesusahan.

Kultum 20 Pebruari 2008

Makna kerjasama DALAM PANDANGAN ISLAM

Dalam kehidupan dunia usaha, kerjasama merupakan salah satu syarat yang menentukan bagi kesuksesan suatu usaha. Untuk itu, diperlukan peran serta segenap insan dalam lembaga atau perusahaan, untuk saling mengembangkan upaya-upaya kecerdasan hubungan. dalam Islam Kecerdasan hubungan ini dikenal dengan istilah (ta’awun). Yakni membina kerjasama melalui upaya tolong menolong dalam suatu kebaikan.

Pengembangan kecerdasan hubungan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam meningkatkan produktifitas dan kemajuan perusahaan yang islami merupakan perintah pokok dalam Islam. Apalagi dalam hadits juga disebutkan bahwa sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk menolong yang lain (yasuddu ba’duhum ‘ala ba’din). Maka oleh sebab itu pengembangan kecerdasan hubungan, harus dibarengi dengan semangat agama, karena selain dipandang penting dalam upaya membangun kerja sama kelompok atau jaringan kerja, juga dapat menjadi upaya perekat ummat sehingga umat yang beragama dapat terangkat kualitas hidupnya secara bersama-sama dengan cara menjalin kerjasama.

Menurut Edwin A.Hoover Kecerdasan hubungan digambarkan sebagai RELATIONSHIP QUATION disingkat (RQ), yakni adanya sekelompok orang dalam suatu badan (usaha) yang melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan kelompok tersebut, sehingga dapat menghasilkan sebuah produk atau hasil.

Meskipun ada sekelompok orang yang menjalin kekompakan namun tidak bisa membuahkan suatu produk atau hasil, maka hal itu bukan Kecerdasan Hubungan, tetapi kelompok itu hanya melakukan hubungan yang biasa saja. Karena ciri-ciri kelompok memiliki Kecerdasan Hubungan diantaranya adalah :

1) Adanya kemampuan tiap anggotanya untuk mencurahkan atau mewujudkan kemampuan dirinya di tempat satu usaha yang menghasilkan. Seperti kelompok orang dalam satu perusahaan, dimana setiap individu karyawannya dituntut perannya untuk dapat menghasilkan suatu produk yang bermutu.

2) Adanya kemampuan kelompok untuk menjaga agar hubungan antar tiap anggota tetap harmonis, saling memahami tugas-tugas pokok masing-masing, dan selalu menghargai prestasi yang dilakukan teman sekelompoknya.

3) Adanya kemampuan kelompok untuk produktif.

Dengan mengacu pada tiga ciri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Kecerdasan Hubungan, baru bisa terwujud jika satu dengan lainnya mempunyai i’tikad untuk berupaya memajukan kelompoknya dengan mempersembahkan karya-karya terbaik yang dimiliki masing-masing anggota kelompok itu.

Jika hal ini dikembalikan pada perusahaan, maka perusahaan yang memiliki kecerdasan hubungan, adalah apabila masing-masing karyawannya memiliki keahlian yang dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan perusahaan. Disamping itu setiap insan yang ada dalam perusahaan harus mampu menjaga keharmonisan hubungan sehingga tidak terjadi persaingan yang kurang sehat yang pada akhirnya akan melemahkan produktifitas perusahaan.

Kultum 21 Pebruari 2008

Ketentuan Allah Mengenai Rizqi

Setiap makhluk yang diciptakan Allah SWT di atas bumi ini telah mendapat jaminan rizqi dari Allah swt sebagaimana firman Allah Swt. :

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

artinya : “tidak satupun yang melata di bumi ini kecuali telah dijamin Allah rizqinya” (QS. 11/Hud : 6). Selain Allah menjamin rizqi, ada ketentuan bahwa yang mendapat jaminan rizqi itu hanyalah makhluk yang dabbah (yang merangkak) yang diidentikkan dengan makhluk yang aktif bergerak dalam mencari rizqinya.

Adapun mengenai kwantitas atau jumlah rizqi masing-masing, Allah menetapkan bahwa “seseorang dibedakan atas yang lain dalam hal rizqi” (Q.S.16/al-Nahal:71) ada yang banyak dan ada yang sedikit. Sehingga dengan demikian ada yang sulit mencari rizqi dan ada juga yang mudah. Bahkan Allah swt menjanjikan di ayat lain adanya rizqi dari jalan yang tidak diduga-duga sebagaimana disebutkan dalam (Q.S. 65/al-Thalaq:3).

Apa arti Rizqi ?

Mutawalli Sya’rawi seorang ulama Islam dalam kitabnya Al-Rizq mendefinisikan bahwa rizqi adalah apa yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang, baik oleh dirinya atau orang lain, jadi meskipun harta milik kita tapi orang lain juga dapat yang memanfaatkan maka hal itu adalah rizqi anda dan rizqi orang lain. Meski demikian seseorang yang memiliki harta namun tidak dapat dimanfaatkannya, maka itu bukan berarti rizqinya, melainkan rizqi orang lain, yang memanfaatkan miliknya.

Pengertian di atas mengingatkan kita pada dua hal :

Pertama, bahwa manusia dapat saja mencari dan memiliki harta sebanyak-banyaknya. Namun pada hakekatnya yang menjadi rizqinya, adalah apa yang dapat memberikan manfaat kepadanya. Jika tidak dapat dimanfaatkannya maka sebenarnya itu bukan rizqinya tapi rizqi bagi orang lain yang memanfaatkannya.

Kedua, Meskipun harta yang dimiliki seseorang yang tidak dimanfaatkannya, dapat dialihkan untuk membantu orang lain yang membutuhkannya, sehingga hartanya tidak mubazzir tapi bermanfaat bagi orang lain.

Pada sisi lain disebutkan bahwa rizqi itu ada yang baik untuk orang lain tapi tidak baik untuk diri kita. Itu artinya bahwa rizqi itu ada yang positif ada yang negatif; tergantung daripada kehendak Allah swt. Sedangkan rizqi disamping ada yang berbentuk material tapi ada juga yang berbentuk spiritual.

Kultum 22 Pebruari 2008

MENCARI RIZQI DI TENGAH SUASANA SULIT

Saat mencari rizqi, manusia seringkali menghadapi kesulitan dan tantangan. Kesulitan bisa terjadi karena tidak tersedianya lapangan kerja, atau kurangnya keterampilan dan skill atau kemampuan yang dimiliki. Tetapi bisa juga terjadi karena adanya berbagai krisis atau musibah dan lain-lain. Namun seyogianya, setiap kesulitan yang dihadapi jangan sampai menghilangkan kesungguhan dalam mencari rizqi tersebut. Karena kesulitan dan cobaan merupakan bagian yang lumrah dari keberadaan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Dalam menghadapi kesulitan itu, atau jika sedang berada dalam suasana sulit, seseorang harus berhati-hati, jangan sampai melanggar dengan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan Allah. Untuk itu setiap muslim perlu mengambil sikap sebagai berikut :

1. Bersikap positif terhadap Tuhan dengan berkeyakinan bahwa Allah swt. bukanlah zat yang kejam, tetapi Ia adalah zat yang maha kuasa, pengasih dan penyayang yang menjamin rizqi setiap makhluknya yang berusaha. Sebab, Tidak satupun yang melata (berusaha) di bumi ini kecuali telah dijamin Allah rizqinya” (QS. 11/Hud : 6). Ia juga harus yakin bahwa tanpa diduga-duga (Q.S. 65/al-Thalaq:3) Allah swt. bisa saja merubah kehidupannya asalkan ia tetap berada dalam ketaqwaan kepada Allah.

2. Mau belajar dari pengalaman hidupnya, sebagaimana Nabi pernah bersabda : “Jangan seorang muslim terjerumus dalam satu lobang yang sama” atau gagal dalam kegagalan yang sama.

3. Mendekatkan diri pada Tuhannya, termasuk melalui kerjanya, hendaklah kerja dijadikan sebagai alat untuk mengabdi kepada Allah, bukan kerja untuk menambah kedurhakaan kepadaNya.

4. Bekerja lebih keras dan sistematis, tidak santai atau malas, tetapi disiplin ulet, tahan banting dan tidak mudah menyerah.

5. Melakukan penghematan dalam arti yang luas, selalu memikirkan kerja yang efisien sehingga menghemat waktu dan tenaga, tanpa mengurangi kualitas kerjanya.

6. Meningkatkan ukhuwah, selalu menjalin kerjasama dengan orang lain sebab pada suatu saat kita mempunyai kepentingan dengan dia dalam membantu usaha yang kita jalankan.

7. Peningkatan ilmu pengetahuan dan keahlian, guna mencapai kemajuan usaha. Sebab setiap usaha perlu adanya inofasi atau pengembangan kearah yang lebih baik.

8. Perencanaan masa depan, sebab usaha hendaknya bisa berkelanjutan hingga anak-anaknya.

9. Yakin bahwa di balik kesulitan yang dihadapinya, ada berbagai kemudahan yang bakal di perolehnya.

Sebagai penutup dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi seorang muslim, suasana kesulitan tidak boleh menghambatnya untuk terus bersungguh-sungguh mencari rizqi dalam peningkatan kualitas hidupnya.

Seseorang yang diberi rizqi oleh Allah, harus memiliki budaya distributif atau pembagian, selain untuk kepentingan diri dan keluarganya, rizqi yang diperolehnya juga harus diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak.

Dalam suasana kesulitan, seorang muslim jangan kehilangan akal sehatnya untuk mencari berbagai cara mencari rizqi yang lebih besar.

Kultum 23 Pebruari 2008

LIDAH DAN HARMONISASI KEHIDUPAN

Salah satu kelebihan manusia dari makhluk lain adalah kemampuannya berbicara berkat lidahnya untuk mengeluarkan statemen (pernyataan) yang dapat ditangkap oleh orang atau kelompok lain, atau masyarakat di mana ia berada. Namun perlu diingat bahwa kemampuan berbicara bagai pisau bermata dua; dapat menciptakan keharmonisan sosial disatu sisi dan dapat menciptakan kekacauan, bahkan menjatuhkan harga diri dan martabat manusia disisi yang lain.

Saat ini bangsa Indonesia sedang berada pada setting waktu di mana lidah sering dijadikan sebagai media statemen (pernyataan-pernyataan) untuk mempengaruhi massa ditengah euforia reformasi serta demokrasi dan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Setiap orang dapat mengeluarkan statemen-statemennya, layaknya masyarakat yang baru keluar dari “penjara bungkam” selama puluhan tahun. Sehingga seringkali pernyataan-pernyataan muncul tanpa mempertimbangkan etika kebersamaan sebagai bangsa Indonesia yang beradat dan berbudaya Timur.

Islam memberikan control yang sangat serius terhadap penggunaan lidah untuk mengeluarkan statemen. Bahkan Islam melihatnya sebagai salah satu kriteria manusia beriman yang berhak mendapat keselamatan dan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Rentetan sifat-sifat itu disebutkan pada surat 25/al-Furqan:63-77). Diantaranya, seperti firman Allah yang artinya : “Dan orang-orang yang tidak memberikan pernyataan-pernyataan (statemen-statemen) palsu (yang tak berdasar). Apabila mereka sedang melewati sesuatu yang sia-sia, mereka tetap menjaga keharmonisan dirinya” (QS.25/al-Furqan:73).

Paling tidak ada dua hal yang dapat ditangkap dari ayat ini. Pertama, bahwa salah satu karakter seseorang yang pantas disebut beriman adalah tidak sering mengeluarkan statemen-statemen palsu yang tak berdasar, tanpa data dan fakta. Kedua, dalam situasi yang kurang menguntungkan mereka selalu menjaga kehormatan diri dan keharmonisannya. Dua hal yang kini menjadi persoalan yang sangat akut di tengah masyarakat kita.

Untuk melihat bagaimana kaitan antara lidah dengan harmonisasi sosial perlu disimak ilustrasi berikut :

“Pada suatu saat seseorang pernah bertanya kepada Al-Ghazali : Tuan, siapakah yang paling dekat dengan kita? Allah SWT kata Al-Ghazali. Kalau begitu siapakah yang paling jauh dari kita? Al-Ghazali menjawab : yang paling jauh dari kita adalah kata-kata kita. Sebab begitu kata-kata itu kita keluarkan (apalagi bagi mereka yang public figur), kata-kata itu akan melayang-layang di tengah-tengah masyarakat. Ia akan mengingatkan orang-orang atau akan menghantui dan mengadudomba anggota-anggota masyarakat yang ditemuinya. Begitulah, sekali kata-kata dikeluarkan, dia tidak akan bisa ditarik lagi meskipun dengan kekuatan sekaliber presiden atau raja”.

Ilustrasi ini mengingatkan kita pada pribahasa bahwa “mulutmu adalah harimaumu” yang dapat menerkam dan menghempaskanmu di suatu saat, cepat atau lambat.

Statemen-statemen palsu dalam perspektif islam dipandang sebagai fitnah yang tidak hanya akan mendatangkan kehancuran bagi orang atau kelompok yang zalim dan jahat, tetapi akan berakibat pada inharmonisasi sosial, jika bukannya menghancurkan sendi-sendi kebersamaan rakyat. “Jagalah dirimu dari bencana fitnah yang tidak hanya akan menimpa mereka yang jahat saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah keras sekali dalam menjatuhkan hukuman. Demikian Allah berfirman (QS. 8/al-Anfal:25).

Sedemikian berbahayanya statemen yang tak berdasar yang dapat dikategorikan fitnah tersebut, hingga Allah menyebutkannya sebagai lebih kejam dari pembunuhan. “Fitnah lebih jahat daripada pembunuhan” Demikian tertulis dalam Al-Qurán (QS.2/al-Baqarah:191).

Kultum 24 Pebruari 2008

Membangun Budaya Kebangkitan II

Berdasarkan pengalaman sejarah umat Islam dimasa silam dengan kejayaaannya, sudah semestinya ummat Islam saat ini harus bangkit melalui budaya kebangkitan. Budaya kebangkitan itu memiliki paling tidak lima aspek penting yaitu :

1. Mempertebal keyakinan terhadap Islam sebagai agama yang apabila dijalankan dengan maksimal dan benar akan melahirkan perilaku dan tindakan yang benar pula, sehingga akan membuka jalan keselamatan dan jalan keunggulan, dan begitulah hendaknya perilaku serta tindakan seorang muslim selalu didasari oleh keyakinan itu.

2. Semangat yang tinggi untuk menguasai ilmu dan keahlian, sehingga melahirkan kaum intelektual yang memiliki pemikiran-pemikiran yang rasional yang berguna bagi kemajuan masyarakat Islam.

3. Etos kerja dan budaya kerja yang dilandasi oleh nilai-nilai yang diajarkan oleh agama akan melahirkan keunggulan dan ciri khas tersendiri.

4. Adanya konsep dan implementasi pemberdayaan yang jelas, sehingga pemberdayaan kaum yang lemah dalam rangka keadilan bagi hidup bermasyarakat dapat ditegakkan.

5. Adanya toleransi dan kebersamaan dalam pengembangan kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan aspek-aspek penting tersebut maka pembangunan budaya kebangkitan di kalangan umat Islam dapat dilakukan dengan upaya pemberdayaan. Pembedayaan dalam arti memberi kemampuan atau keberdayaan bagi umat Islam dapat dilakukan melalui tiga tahapan:

Tahapan pertama, Membangun etika sehingga memberi keyakinan bahwa segala bentuk keterbelakangan, kejahatan, kebejatan harus dibuang.

Tahap kedua, perubahan budaya dari tingkah laku dari budaya keterbelakangan menuju budaya kebangkitan. Dilihat dari pendekatan pemberdayaan, maka pendekatan pertama dan kedua ini baru berada pada tahap inisial. Artinya usaha pemberdayaan itu muncul dari kelompok-kelompok terbatas, yang ditujukan kepada orang yang beriman. Subjeknya adalah kelompok-kelompok penyadar. Sementara umat Islam menjadi objeknya.

Pendekatan ketiga adalah mengupayakan terciptanya gelombang kebangkitan dengan cara masing-masing ummat Islam menjadi pendukung budaya kebangkitan itu, dengan cara melaksanakan aktifitasnya masing-masing secara sungguh-sungguh, sistematis, dan terencana, serta disemangati oleh nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kebangkitan itu. Pada tahap ini upaya yang dilakukan adalah mencapai tahap partisipatoris, upaya kebangkitan esensial yang tumbuh dari keseluruhan orang yang beriman secara keseluruhan, untuk kemajuan dan kebahagiaan umat Islam secara keseluruhan.

Penutup dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menggapai kemajuan dan kebangkitan umat Islam di masa yang akan datang, diperlukan penegakan budaya kebangkitan yang dilakukan secara partisipatoris yakni melibatkan partisipasi segenap ummat Islam dari berbagai kalangan, sehingga umat Islam harus menjadi subjek sekaligus objek bagi kebangkitan itu.

Kultum 25 Pebruari 2008

MAKNA SHADAQAH

Rasulullah saw bersabda yang artinya : “Senyummu untuk saudaramu adalah shadaqah, dan amar ma’ruf serta nahi mungkarmu adalah shadaqah, dan memberikan petunjuk kepada seseorang yang sesat adalah shadaqah, dan engkau menyingkirkan batu, duri, tulang dari jalan adalah shadaqah” (HR. Bukhari).

Shadaqah dalam pengertian yang umum artinya memberikan sesuatu berupa harta atau untuk diambil manfaatnya dengan baik oleh orang lain tanpa mengharap balasan apa pun dari shadaqah yang diberikan. Namun dalam hadits diatas terdapat suatu ajaran yang teramat mengesankan bahwa shadaqah tidak hanya diartikan dengan pemberian uang, namun hal yang dianggap sepele, seperti senyuman yang ikhlas, mengajak orang berbuat baik, dan melarang orang berbuat jahat atau mungkar, memberikan petunjuk jalan kepada seseorang yang sesat dalam perjalanannya, hingga menyingkirkan batu, duri, tulang dari jalan semuanya dianggap sebagai shadaqah.

Mengapa hal yang diuraikan dalam hadits ini dikategorikan sebagai shadaqah, mungkin karena ditinjau dari sisi manfaatnya yang besar. Seperti senyuman misalnya, kita mengetahui bahwa mengucapkan salam adalah perkara yang pokok dari ajaran Islam dalam tata krama. Dapat kita bayangkan jika salam diucapkan tidak diiringi dengan senyuman, tentunya akan membuat takut orang yang menjawab salam, sehingga apa yang akan kita utarakan kepadanya kurang mendapat respon atau sulit untuk menangkap apa yang akan kita ucapkan. Sehingga kesan yang ditinggalkan setelah itu pun menjadi kesan yang sangat buruk.

Itulah sebabnya mengapa Allah memesankan kepada Nabi dalam mengajak orang masuk kedalam Islam dengan teori senyum. Sebab senyum dapat melunakkan hati, memberikan perasaan gembira kepada orang lain, dan menjamin orang lain akan bergembira mendengar ucapan yang akan diutarakan. Sementara disisi lain bagi yang memberikan senyum dapat membuat muka menjadi berseri dan manis, membuat awet muda, karena wajah tidak keriput ketika sedang senyum.

Hadits di atas mengajak seorang mukmin untuk gemar melakukan shadaqah, meskipun tidak dengan uang atau harta benda. Sebab banyak hal lain yang dapat dilakukan dengan tindakan yang sangat berarti bagi orang lain seperti membatu orang yang sedang tersesat agar terhindar bahaya di perjalanan atau upaya-upaya lain yang bermanfaat bagi manusia.

Dalam suatu hadits disebutkan bahwa orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat kepada manusia. Dapat dipahami bahwa betapapun hebatnya seseorang jika tidak dapat memberi manfaat kepada orang lain, maka ia hanya dipandang sebagai manusia kerdil yang tidak berarti apa-apa, dan justru sebaliknya orang yang bisa memberi manfaat besar bagi kelangsungan hidup manusia, maka itulah sesungguhnya manusia yang besar.

Kultum 26 Pebruari 2008

MARASAKAN KEHADIRAN TUHAN

Ada cara beragama yang mempersepsikan Tuhan amat jauh dari kehidupan. Persepsi (pandangan) ini muncul dari pemahaman bahwa Tuhan Maha Tinggi dan Maha Gaib secara kaku, atau pemahaman bahwa Tuhan adalah Maha Pembalas dan Penghukum bagi setiap prilaku menyimpang. Pemahaman seperti ini jika berlangsung secara kaku akan melahirkan cara beragama yang amat gersang, jika bukannya menegangkan, sehingga peran agama tidak begitu berarti dalam memberikan semangat dinamika dan ketenangan bagi para penganutnya, terutama di saat-saat terjadinya perubahan sosial yang amat cepat, seperti era reformasi di Indonesia.

Cara beragama yang positif adalah cara yang mempersepsikan bahwa Tuhan selalu “hadir” menyertai manusia, memberi petunjuk (hudan) terhadap apa yang akan dan seharusnya dilakukannya, dan yang lebih penting lagi memberikan pengertian bahwa Allah sangat luas rahmatnya dan senantiasa memberikan pertolongan jika manusia mengalami kesulitan dalam kehidupannya.

Sesungguhnya Islam memberi petunjuk bahwa Allah senantiasa menyertai manusia dalam kehidupan kehidupan. Hal ini dapat di lihat umpamanya dalam ayat al-Qur’an, ketika Rasul bersama Abu Bakar di Gua Sur. Firman Allah : “Ketika keduanya berada dalam gua diwaktu dia berkata kepada temannya “Janganlah kamu berduka cita sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada Muhammad dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya. (Q.S. 9/al-Taubah:40).

Pada ayat lain juga disebutkan : “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (Q.S. 89/al-Fajr : 14). “Dan yang kami wahyukan kepadamu dari kitab (al-Qur’an) adalah yang haq, membenarkan apa-apa yang sebelumnya (kitab-kitab). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha melihat hamba-hambaNya”. (Q.S. 35/Fathir : 31).

Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah SWT tidak pernah jauh dari manusia, apalagi meninggalkannya. Akan tetapi Dia selalu menyertai mereka.

Keyakinan akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan seseorang yang beragama paling tidak akan memunculkan tiga hal :

1. Apabila melakukan amal (pekerjaan) yang baik ia merasa mendapat perkenan dari Allah, sekaligus menumbuhkan semangat kerja yang lebih tinggi. Pada sisi lain seringkali orang yang beribadah merasa mendapat respon dari Allah, sehingga dirinya merasa tenteram. Inilah yang pernah dirasakan para sufi ketika memperoleh “hal” dan orang-orang yang saleh.

2. Orang yang merasa kehadiran Tuhan dalam hidupnya tidak pernah merasa sendiri dalam melakukan aktifitas-aktifitas yang baik, sehingga akan muncul keberanian dalam dirinya.

3. Orang yang merasakan kehadiran Tuhan akan memiliki rasa pengendalian diri yang tinggi. Rasulullah Saw bersabda : “Bahwa ada tiga keadaan (manusia) yang berkaitan dengan iman, (1) dalam keadaan emosi seseorang mampu mengendalikan dirinya, (2) dalam keadaan berkuasa (menduduki jabatan) seseorang tidak akan melampaui hak-haknya, dan (3) dalam keadaan gembira, dia tidak melewati batas/berlebihan”.

Mengapa tiga keadaan tersebut dihubungkan dengan keimanan ? Sebab seorang mukmin dituntut untuk beriman bahwa Allah selalu hadir (ada), meskipun gaib. Setiap orang, jika memahami bahwa Allah SWT setiap saat hadir dalam hidupnya, ia akan senantiasa mengendalikan seluruh tindak-tanduknya.

Kultum 27 Pebruari 2008

Membangun Daya Tahan Keluarga Melalui Agama

Daya tahan keluarga perlu dibangun melalui jalur Agama. Memahami agama bukan hanya mengenal halal-haram, atau tata cara ibadah-ibadah wajib saja, melainkan juga diperlukan pengajaran pada pendalaman nilai-nilai ajaran yang dibawa oleh Agama.

Untuk lebih mengetahui nilai-nilai ajaran itu, manusia harus belajar, melakukan pengkajian agama melalui majlis ta’lim, majelis pengajian, diskusi dan berbagai cara pendalaman agama yang lain, seperti membaca, mengikuti seminar dan lain sebagainya, yang kesemuanya harus diikuti secara serius dan dilakukan secara terus menerus.

Pendalaman agama seperti inilah, yang bisa membuat diri manusia sadar akan dirinya. Sehingga terbinalah tauhid dan keimanan dalam dirinya, sehingga agama bagi dirinya bukan hanya sebagai pelengkap data, tetapi agama dapat memberi ketenangan, kedamaian, dan kecerdasan sendiri baginya.

Bagi seseorang yang ingin unggul dalam kehidupannya, ia juga harus mempelajari Al-Qur’an, dan juga dalam kesehariannya senantiasa memedomani Al-Qur’an dalam sikap dan prilaku, serta tindakan-tindakannya. Sebagaimana Firman Allah dalam QS.17/al-Isra’ : 82 : “ Dan Kami (Allah) tidak menurunkan al-Qurán kecuali agar dapat menjadi obat (penawar), serta rahmat bagimu …

Al-Qur’an sebagai penawar, maksudnya dapat menghilangkan segala bentuk penyakit hati, berupa ragu, nifak, syirik, prilaku yang menyimpang (dosa), dan Al-Qur’an juga dapat menyembuhkan penyakit kemaksiatan dan kebatilan. Sedangkan sebagai rahmat, Al-Qur’an dapat memberikan keimanan dan hikmah bagi para pencarinya, atau mendalami isi dan makna Al-Qur’an. Sebab orang yang menjadikan Al-qurán sebagai pedoman dalam beragama, merupakan kriteria orang yang paling berhasil dalam berbagai bidang.

Disamping menjadikan Al-qurán sebagai pembina hidupanya, seseorang juga perlu membina keseimbangan dalam kehidupan agar dapat membangun daya tahan bagi diri dan keluaraganya. Keseimbangan disini maksudnya adalah antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrowi, kepentingan dunia tidak boleh diabaikan begitupula kepentingan akhirat, keduanya harus sejalan dan inilah yang dinamakan membina keseimbangan dalam kehidupan.

Disamping itu silaturahmi antar sesama keluarga dan rekan sesama profesi, dan dengan anggota masyarakat lainnya, juga perlu dibina, sebab diri kita adalah bagian dari mereka. Kita tidak boleh berdiri sendiri sehingga merasa tidak bertanggung jawab, baik material, moral dan spiritual terdadap keluarga, masyarakat atau perusahaan tempat kita bekerja.

Kiranya upaya pembinaan daya tahan terhadap serangan dan gangguan dalam kehidupan kita, diakhiri dengan banyak-banyak mencari, mengumpulkan segala informasi mengenai agama. Dan Insya Allah, dengan mengumpulkan informasi agama sebanyak mungkin, serta sering mengkomunikasikannya kepada orang lain, akan memberikan daya saring kepada kita terhadap segala macam gangguan dan cobaan hidup.

Kultum 28 Pebruari 2008

Membentuk anak yang sholeh dan sholehah

————————–

Setiap muslim tentunya menginginkan terbentuknya sebuah keluarga yang sakinah yang didalamnya penuh keberkahan dan ridho Ilahi. Rumah tangga dibentuk oleh dasar mawaddah dan rahmah merupakan impian setiap muslim. Setiap muslim juga menginginkan pula dikarunia anak-anak yang sholeh dan sholehah yang merupakan mutiara yang terindah yang tidak dapat digantikan oleh harta berapapun jumlahnya. Sebab anak yang sholeh dan sholeh adalah warisan amal yang tidak putus mengalir kepada orang tua apabila kedua orang tua itu telah meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang artinya : Sabda Rasululallah saw. : “Jika seorang anak Adam meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah dan atau Ilmu yang bermanfaat dan atau anak yang sholeh yang mendo’akannya”. (Hadits)

Jadi dengan demikian hendaklah seorang muslim mempersiapkan anak yang sholeh dengan mencurahkan perhatiannya upaya pembentukan anak-anak yang sholeh, yang tentunya diawali dengan pembentukan orang tua yang sholeh. Dalam hal ini Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda :

” Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)

Begitu pula bagi wanita, hendaklah memilih orang-orang yang datang melamarnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh agama, dan mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dan orang tida seorang gadis dengan bersabda : “Bila datang kepadamu pemuda yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar” (Hadits)

Jadi dalam hal membentuk keluarga sakinah harus didahulukan dengan pemilihan bibit yang sholeh atau sholehah sehingga nantinya akan melahirkan anak-anak yang sholeh dan sholehah pula yang dapat mendo’akan kedua orang tuanya kelak jika telah tiada.

Berdasarkan tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita, Rasulullah memerintahkan kepada kita : “Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, hendaklah membaca:

ﺒﺳﻢﺍﷲ ﺍ ﻟﻟﻬﻡ ﺇﻧﺎ ﻧﻌﻮﺬ ﺒﻚ ﻣﻥ ﺍﻠﺸﻴﻃﺎﻦ ﻮ ﻧﻌﻮﺬﺒﻚ ﻣﻥ ﺃﻦ ﻴﺤﺿﺮﻮﻥ

“Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”. Dengan demikian maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya” (Hadits).

Sehingga dengan demikian ajaran Islam yang begitu indah sebagai upaya membentuk anak yang sholeh dan sholehah.

Kultum 29 Pebruari 2008

Mencederai Faktor Keunggulan I

Giat berusaha meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, adalah salah satu sebab mengapa ummat Islam terdahulu unggul dibanding ummat yang lain. Keunggulan ummat Islam di era keemasan Islam di abad lampau itu mencakup segala bidang, yakni dalam hal ekonomi, menguasai dunia perdagangan dan hal itu didapatkannya dari upaya keras menerapkan ajaran Islam yang kaya akan nilai-nilai yang mengatur tentang persoalan ekonomi dalam arti yang luas.

Mereka yakin bahwa dengan bekerja secara baik, sungguh- sungguh, dan juga shaleh, sesuai dengan tugas dan profesinya merupakan juga ajaran Islam. Sehingga dengan keyakinan tersebut dapat muncul etos kerja yang tinggi di kalangan umat Islam.

Mereka juga terdorong oleh perasaan bahwa kepemimpinan dunia sesungguhnya berada di tangan umat Islam, sebab banyak ayat yang menyatakan bahwa manusia adalah khalifah, dan ummat Islam adalah khaira ummah (sebaik-baik ummat), dan manusia bertugas sebagai pemakmur bumi. Sehingga dengan keyakinan tersebut mereka bersikap layaknya pemimpin yang memiliki sikap yang arif, bijaksana, senantiasa bersikap lapang dada dan toleran (tasamuh) terhadap komunitas atau kelompok masyarakat lain.

Kecemerlangan mereka dalam mengamalkan ajaran Islam secara lebih dinamis didorong oleh pemahaman Islam yang rasional, yang tidak terpaku pada simbol-simbol formal. Dengan demikian mereka seakan tidak pernah “dikecewakan” oleh keyakinan mereka terhadap kebenaran dan keunggulan itu.

Memasuki abad-abad berikutnya, terutama setelah dunia Barat menemukan kemodernan, banyak umat Islam yang mencederai atau merusak faktor keunggulan yang telah diyakini oleh ummat Islam sebelum mereka, dan bahkan banyak diantara masyarakat muslim tidak lagi menganut budaya kebangkitan itu. Sehingga akibatnya umat Islam itu mengalami kemunduran di antaranya :

· Hilangnya keyakinan terhadap Islam, sebagai agama yang dapat memberikan jalan keluar dari problematika hidup, yang dapat memberikan jalan keluar yang terbaik. Bahkan di antara mereka ada yang merasa silau dan lebih tertarik pada jalan hidup yang lain yang tidak dibenarkan Islam.

· Pemahaman terhadap ajaran agama yang lebih cenderung refressif dan tidak berkembang yang cenderung mengenal Islam hanya sebatas kulit atau hanya dalam pelaksanaan ibadah sholat dan puasanya saja. Atau melihat Islam hanya sebatas ibadah tanpa keinginan untuk menelusuri pemikiran-pemikiran Islam yang terkandung dalam setiap ajaran yang dipesankan oleh Nabi saw. Padahal Islam memiliki pandangan hidup yang tentu saja telah dijamin kebenarannya. Umat Islam yang telah kehilangan keislamannya tadi, akhirnya kehilangan cara pandang tentang kehidupan dan masa depannya.

· Sebagai akibat masyarakat yang tidak memiliki pedoman yang kuat, maka sikap saling percaya di kalangan umat mulai sirna. Akibatnya muncul sikap saling curiga, yang pada gilirannya memunculkan fenomena dan kenyataan perpecahan (dis-integrasi) diantara ummat Islam dalam berbagai tingkat kehidupan.

· Semangat untuk peningkatan ilmu pengetahuan dan keahlian mulai menurun, yang menyebabkan tidak adanya prinsip-prinsip budaya dalam upaya memerangi keterbelakangan mereka.

Berdasarkan hal itu ummat Islam harus dapat bangkit dari keterpurukannya dengan segala daya dan upaya agar dapat hidup ditengah kemajuan ilmu dan teknologi yang canggih saat ini. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan ummat Islam dalam rangka kebangkitan itu merupakan hal yang harus diusahakan, secara lebih lanjut akan kita bahas pada pertemuan berikut.

Tinggalkan komentar