Kultum Januari 2008

Kultum 1 Januari 2008

THAHARAH DAN PENSUCIAN DIRI

Sebagai makhluk ciptaan Allah tugas terpenting manusia adalah mengabdi kepadaNya dengan beribadah, sebab sebagaimana firmanNya : “ Dan tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (QS.5/al-Dzariyat: 56). Bentuk ibadah ada dua macam, yakni ibadah mahdhah seperti sholat dll, maupun ghairu mahdhah diantaranya ibadah sosial dan ekonomi.

Dalam rangka mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah, kepada manusia diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan sifat-sifat Allah yang agar ibadah yang mereka lakukan mendapat perkenan dari Tuhan. Dengan dimengertinya sifat-sifat Allah tersebut maka manusia akan menemukan pintu masuk dalam menjalankan ibadah. Menurut informasi al-Qur’an yang disebutkan bahwa Allah swt. memiliki sifat zhahir dan yang batin, firman-Nya :

“Dialah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir; Yang Zhahir dan Yang Batin dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu” (QS.57/al-Hadid:3).

Dalam melakukan Ibadah dalam rangka pendekatan manusia kepada Allah sebagai zat Yang Zhahir dan Yang Batin itu, maka perlu persiapan lahir dan batin misalnya ketika hendak melakukan ibadah shalat yang disyaratkan pensucian diri lahir dan batin.

Dalam pensucian (thaharah) lahir dengan pelaksanaan wudhu’. “Seorang muslim harus membasuh tangannya sampai pergelangan tangan tiga kali, berkumur dengan air yang dimasukkan ke dalam mulut dengan tangan kanan, menghirup air ke dalam lubang hidung kemudian menghembuskannya, tiga kali, membasuh muka tiga kali. Lalu dilanjutkan dengan membasuh tangan kanan lebih dahulu, lalu tangan kiri sampai siku, tiga kali, menyapu kepada dengan bagian dalam jari-jari kedua tangan, memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam gendang telinga dan menyeka bagian belakang telinga dengan ibu jari. Kemudian membasuh kaki kanan dan kaki kiri sampai pergelangan kaki tiga kali”.

Adapun pensucian (thaharah) batin harus dilaksanakan karena Allah Swt juga adalah zat Maha Batin, sehingga pelaksanaan wudhu dalam dimensi batin adalah permohonan rahmat, ampunan dan penjagaan Allah Swt terhadap dirinya. Jadi seseorang hendaklah berdo’a kepada Allah agar membersihkan dirinya dari dosa-dosa yang telah dilakukan melalui kedua tangannya, baik disengaja atau tidak disengaja. Ketika berkumur-kumur ia berdo’a agar Allah membersihkannya dari dosa-dosa yang dilakukan oleh mulutnya. Ketika membersihkan hidung ia bedo’a agar Allah mengizinkannya menghirup keharuman sorga. Ketika membasuh muka ia berdo’a agar menghilangkan kegelapan yang telah menodai wajahnya dan menyinari wajahnya dengan cahaya hikmah dan kebijaksanaan. Ketika membersihkan kedua tangan (kanan dan kiri) seorang muslim berdo’a kepada Allah agar menyerahkan buku catatan amal-amalnya ke tangan kanannya, bukan ke tangan kirinya seperti yang dilakukan Allah kepada orang-orang yang berdosa.

Ketika membasuh kakinya, dia memohon agar ia dibimbing ke jalan yang benar dan ketika membasuh kaki kirinya dia memohon agar dilindungi dari bisikan-bisikan setan yang berusaha membawanya ke jalan kehancuran yang menyimpang dari segala kebajikan.

Thaharah dalam dimensi lahir dan batin seperti dikemukakan di atas menjadikan seseorang dapat mendekat kepada Allah dan memperoleh rahmat serta ampunan-Nya.

Kondisi kesucian adalah kondisi yang sangat disukai Allah pada diri seseorang, sebagaimana firmanNya :

إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (QS.2/al-Baqarah: 222)

Kecintaan Allah menjadi modal utama bagi seseorang untuk mencapai kesuksesan sebab dengan kecintaan itulah akan membuka pintu rahmat dan kasih sayang Allah.

Kultum 2 Januari 2008

Manajemen kepemimpinan Nabi

Ternyata kesuksesan Nabi dalam membangun masyarakat Madinah menjadi masyarakat yang islami tidak lepas dari tehnik managemen yang digunakannya.

Dalam ilmu manajemen, kesuksesan dalam kepemimpinan dapat diraih manakala menjalankan empat tahapan berikut ini, yakni: Perencanaan (planning);Pengorganisasian (organizing); Pemotivasian (motivating); Pengendalian (controling).

1. Perencanaan (planning); yakni penyusunan tujuan dan sasaran termasuk garis-garis besar yang harus dilalui untuk pencapaian tujuan dan sasaran tersebut.

2. Pengorganisasian; yaitu proses pengumpulan sumber daya manusia, modal dan peralatan-peralatan dan penyusunan cara-cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan itu.

3. Pemotivasian; yakni pengarahan (directing) komunikasi (communiting) dan pemanduan (leading).

4. Pengendalian, yaitu mengevaluasi hasil yang dicapai dengan rencana awal yang telah ditetapkan, dan perlu diambil tindakan penyesuaian apabila terdapat penyimpangan-penyimpangan.

Keempat hal diatas sudah dijalankan oleh Nabi saw dalam kepemimpinannya, yakni bagaimana Nabi pertama kali menjelaskan tujuan diutusnya beliau, dan kemudian bagaimana kemampuan beliau memotivasi dan mempengaruhi perilaku manusia untuk mendukung tujuan risalahnya itu.

Selama di Mekkah beliau gencar mengajarkan tauhid, memotifasi manusia dengan dakwah sirran (dakwah sembunyi-sembunyi) mengungkapkan tujuannya dengan rumusan yang jelas dalam kalimat yang indah dan mengagumkan dan mudah dipahami. Baik dengan menggunakan ayat-ayat maupun melalui berbagai hadisnya. Sehingga upaya beliau menegakkan tauhid menggantikan keberhalaan berhasil.

Dan setelah itu beliau dengan pemikiran cemerlang seorang pemimpin yang memiliki visi masa depan, memutuskan untuk melanjutkan dakwah dengan hijrah ke Madinah. Disana beliau mengingatkan manusia akan posisinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi yang bertanggung jawab menegakkan moral dan menaati norma-norma yang ada. Beliau bertindak sebagai khalifah (pemimpin) menggandeng para tokoh dari berbagai suku dan pemuka agama dari berbagai agama untuk bersama-sama menjalankan misi dan tujuan masing-masing. Beliau adalah mediator dari berbagai kalangan dan tidak jarang beliau diminta oleh berbagai suku untuk memutuskan berbagai kasus hukum yang sulit dan tidak bisa dipecahkan.

Kalau ditelusuri kiprah Rasul membawa masyarakat menuju jalan Tuhan sesuai tuntutan risalahnya dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kejelasan rumusan tujuan dan sasaran yang ingin dicapainya.

2. Memiliki visi masa depan dan kemampuan memanfaatkan peluang secara cemerlang.

3. Kemampuannya menggalang dan mempersatukan masyarakat yang pluralistik untuk bersama-sama mencapai tujuan.

4. Sikap egalitarian dan musyawarah serta menyediakan kesempatan bagi tumbuh dan berkembangnya pribadi yang dipimpinnya.

5. Sifat istiqamah dan konsekwen dalam menegakkan keimanan dan keislamannya.

6. Mampu berbicara dengan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka.

7. Kejujuran, kesesuaian kata dengan perbuatan, dan gagasan dengan tindakan.

Ketujuh karakter ini dapat, dan seyogiyanya menjadi inspirasi mengembangkan nilai-nilai manajemen yang kita tekuni untuk menciptakan masyarakat yang islami di zaman kita.

Kultum 3 Januari 2008

SISTEM PEMBINAAN TENAGA KERJA SEUTUHNYA MENURUT ISLAM

Kemajuan suatu perusahaan sangat tergantung pada kualitas SDM-nya atau karyawan dan staf yang mengelola dan sekaligus menjalankan operasional di perusahaan tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan pembinaan SDM yang tepat, sebab sebagaimana Al-Qur’an menyatakan bahwa kemakmuran dunia ini hanya diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

“Dan sesungguhnya kami telah menetapkan di dalam zabur sesudah peringatan (Taurat) bahwa sesungguhnya bumi akan diwarisi hamba-hambaku yang sholeh.” (Q.S. al-Anbiya : 105).

Bumi adalah simbol kemakmuran yang diwariskan kepada mereka yang mampu menjaga dan mengelola bumi dengan kesolehannya. Hamba yang sholeh memiliki keahlian yang cukup dibidangnya atau profesinya yang paling tidak memiliki tiga kehandalan, yaitu : Kehandalan iman, Taqwa, dan Shaleh.

Tiga kualitas tersebut harus terbina secara baik dan utuh dalam diri karyawan dengan cara : Pengkayaan rohani dan jasmani. Rohani terdiri dari ruh, hati dan intelektual sedangkan jasmani terdiri dari tubuh atau jasad manusia itu sendiri.

Pengkayaan rohani dikembangkan melalui ibadah dan pembinaan moral, sehingga hati menjadi bersih dan tulus demi meraih etos kerja yang tinggi. Biasanya upaya yang bisa diupayakan dengan bimbingan agama, pengajaran etika (akhlak), Ibadah dan memberikan ketauladanan yang tinggi.

Pengkayaan jasmaniah dibina melalui kesejahteraan finansial dan memberikan fasilitas olah raga dan juga pelayanan kesehatan, sehingga karyawan memiliki kebugaran, kesehatan dan kekuatan fisik.

Pengkayaan intelektual dapat dibina melalui pendidikan dan pengetahuan, pengamatan (nazhar), perenungan (tadabbur), dan penelitian, serta menambah pengalaman. Meningkatkan kemampuan intelektual juga dapat dilakukan dengan banyak konsultasi dan diskusi dengan orang yang lebih pengalaman, selalu mengevaluasi hasil kerja sehingga ada peningkatan hasil kerja sehingga semakin berkualitas.

Seluruh pembinaan tenaga kerja hendaknya dilakukan atas dasar keimanan dan ketaqwaan, sebab dengan demikianlah karyawan memiliki ketangguhan, profesionalisme yang tinggi, terampil, tangguh, dan memiliki ketabahan dalam menghadapi segala macam tantangan dan cobaan.

Kultum 4 Januari 2008

KEUTAMAAN BERTAUHID

Berbicara tentang keutamaan sebenarnya terkandung unsur wajib didalamnya. Jadi bukan berarti bahwa ketika kita berbicara tentang keutamaan tauhid berarti tauhid itu tidak wajib, sebab tidak mungkin seorang hamba mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt dengan suatu amalan tanpa bertauhid kepadanya, karena kunci suatu amal akan diterima adalah dengan bertauhid kepada Allah swt.

Diantara keutamaan tauhid adalah :

1. Mendatangkan semangat kepada Allah dalam beramal.

Orang yang bertauhid akan merasa dekat kepada Allah, sehingga dalam suasana hatinya yang ada hanya Allah. Dan itulah yang selalu diliputi kesemangatan dan kekhusuyuannya dalam melakukan ibadah, baik dalam menyendiri maupun ketika bersama orang banyak, tidak perlu diperhatikan atau tidak oleh orang lain. Sebaliknya orang yang tidak bertauhid dikatakan sebagai orang yang riya’ karena hanya melakukan ibadah jika dalam fikirannya ada yang memperhatikan, atau paling tidak orang lain mengetahui bahwa dirinya telah berbuat ibadah.

1. Menambah kedekatan pada Allah

Orang yang amalnya tidak dicampuri oleh riya’ atau beramal penuh dengan ketauhidan kepada Allah akan mengantarkan seseorang pada kedekatan kepada Allah swt, karena ia melakukan ibadah demi ketaatan dan memurnikan ibadah hanya karena Allah Swt..

3. Mendapatkan Hidayah

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS.Al-An’aam: 82)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Nya semata yang tidak ada sekutu bagi Nya, dan mereka tidak menyekutukan Allah Swt. sedikitpun dalam berbagai hal. Mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan pada hari Qiamat dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.”

Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –hafizhalullah- mengatakan: Firman Allah Swt. (Wahum Muhtaduun; dan merekalah orang-orang yang mendapatkan hidayah) maksudnya di dunia, (mendapatkan hidayah) menuju syari’at Allah Swt. dengan ilmu dan amal. Mendapat hidayah dengan ilmu adalah hidayah irsyaad, sedangkan mendapat hidayah dengan amal adalah hidayah taufiq. Mereka juga mendapatkan hidayah di akhirat yang menuntunnya menuju surga. Sedangkan hidayah untuk orang-orang yang zhalim adalah yang menuntunya pada jalan menuju neraka jahim.

4. Diliputi ketenangan, sebagaimana firman Allah Swt. diatas :

أُولَئِكَ لَهُمُ الأَْمْنُ

“mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan”

Yakni mendapatkan ketenangan dan rasa aman baik di dunia begitu pula di akhirat.

Kultum 5 Januari 2008

MEMBINA DAYA TAHAN KELUARGA MODERN

Mengingata banyaknya permasalahan yang muncul ditengah masyarakat yang ditandai dengan munculnya berbagai kasus kriminal seperti bunuh diri, lari dari rumah (bagi pemuda), kawinan di luar nikah, prilaku kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan, penganiyaan, narkoba, judi, dan lain-lain. Menurut pengamat sosial bahwa penyebab timbulnya penyakit masyarakat tersebut dikarenakan manusia mengalami “frustasi eksistensial” yakni sikap keputus-asaan karena keinginan materialis yang tidak terpenuhi, seperti keinginan berkuasa, keinginan hidup mewah, keinginan memiliki banyak harta, haus pekerjaan, keinginan seks yang tidak terkendali dan keinginan-keinginan materialis lainnya.

Agar seseorang tetap eksis dalam kemanusiaannya dan tidak jatuh dalam penyakit yang meresahkan masyarakat akibat “frustasi eksistensial” maka diperlukan upaya-upaya untuk memperkokoh ketahanan mental melalui pendalaman Agama, diantaranya adalah :

Pertama, memberikan pemahaman agama secara mendalam dan terus menerus. Paling tidak setiap hari harus ada disampaikan kepada anggota keluarga pengetahuan tentang nilai-nilai agama minimal dalam waktu 7 menit (kultum).

Kedua, membangun tauhid dan keimanan. Membangun Tauhid yakni melakukan upaya-upaya mendekatkan diri kepada Allah, seperti puasa sunnah, sholat-sholat sunnah, shadaqah dll. Sedangkan membangun keimanan adalah melakukan upaya-upaya agar bisa menambah ketaatan kepada Allah swt lewat zikir, karena diyakini dapat memberi ketenangan, kedamaian, dan kecerdasan spiritual.

Ketiga, memedomani Al-Qur’an yakni dengan menjadikannya sebagai pemandu dalam penyelenggaraan kehidupan. Bahkan di samping sebagai pedoman hidup Al-Qur’an juga dapat menjadi pelipur lara bagi kegerahan manusia modern. Firman Allah :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَارًا

Kami turunkan dalam Al-Qur’an apa yang menjadi obat dan rahmat bagi orang yang beriman; tetapi bagi orang durjana akan menambah kerugian demi kerugian” (QS.17/al-Isra’ : 82)

Keempat, mejadikan taqwa sebagai kriteria keberhasilan, sebab hanya itu yang Allah pandang padi diri seseorang yang sukses.

Kelima, mengembangkan sikap ramah, sopan dan lemah lembut. Dikatakan lemah lembut bukan berarti tidak ada ketegasan, melainkan lebih mengacu pada keramahtamahan dengan standard disiplin. Sehubungan dengan sikap ramah dan sopan santun itu, Nabi menyebutkan bahwa seseorang yang penuh keramahan akan mendapat simpatik dari penguasa alam semesta. Oleh karenanya berkatalah yang benar. Jika tidak, lebih baik diam saja.

Keenam, membina keseimbangan dalam kehidupan antara material dan spiritual, antara rohani dan jasmani, antara visi dunia dan akherat, dan antara modernitas dan spiritualitas.

Ketujuh, mengembangkan silaturahmi sesama anggota keluarga dan dengan tetangga dan teman sekerja. Ini penting mengingat satu ancaman kemanusiaan modern adalah tidak adanya waktu anggota keluarga untuk bersilaturahmi.

Kedelapan, menjadikan keluarga sebagai tiang penyangga masyarakat baik dari sudut rohani, ekonomi, sosial dan kebersamaan. Dan keluarga memiliki tanggung jawab, baik moril maupun material untuk menjaga dan mengembangkan spiritual (keagamaan) ditengah masyarakat.

Kesembilan, mengumpulkan informasi mengenai perkembangan dunia dan kemanusiaan serta daya saing yang handal.

Hanya dengan demikian keluarga modern dapat membentengi anggotanya dari permasalahan yang belakangan ini banyak menimpa masyarakat.

Kultum 6 Januari 2008

KEAGUNGAN RUMAH TANGGA Rasulullah SAw

Sebagaimana yang sudah dimaklumi bahwa Rasulullah menikahi sembilan isteri. Kesemuanya kemudian dikenal dengan sebutan Ummahatul Mukminin, yang artinya ibundanya orang-orang mukmin.

Rumah Tangga Rasulullah saw. patut menjadi contoh bagi orang-orang mukmin khususnya dalam penegakan keadilan kepada para istri dalam hal pembagian giliran ataupun urusan duniawi lainnya. Wujud keadilan beliau dilukiskan dalam beberapa riwayat berikut ini:

1. kan oleh ‘Aisyah Radhiallaahu anha : “Setiap kali Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam hendak melakukan lawatan, beliau selalu mengundi para istri. Bagi yang terpilih akan menyertai beliau dalam lawatan tersebut. Beliau Shalallaahu alaihi wasalam membagi giliran bagi setiap istri masing-masing sehari semalam.” (HR. Muslim)

Sahabat Anas Radhiallaahu anhu juga meriwayatkan salah satu bentuk keadilan beliau kepada para istri-isterinya, bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mempunyai sembilan orang istri. Apabila beliau telah membagi giliran bagi para istri, beliau hanya bermalam di rumah satu orang istri yang tiba masa gilirannya. Biasanya para Ummahaatul Mukminin berkumpul setiap malam di rumah tempat dimana beliau bermalam ketika itu. Pernah pada suatu malam, mereka berkumpul di rumah ‘Aiysah Radhiallaahu anha yang sedang tiba masa gilirannya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengulurkan tangannya kepada Zaenab Radhiallaahu anha yang hadir ketika itu. ‘Aisyah Radhiallaahu anhu berkata: “Itu Zaenab!” Beliau segera menarik tangannya kembali.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam suasana rumah tangga Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang agung, suasana harmonis penuh dengan bimbingan taufik dan hidayah dari Allah Subhannahu wa Ta’ala, karena beliau senantiasa menganjurkan istri-istri beliau untuk giat beribadah sesuai seruan Allah :

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerja-kannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (Thaha: 132)

Aisyah Radhiallaahu ‘anha menceritakan: Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa mengerjakan shalat malam sementara aku tidur melintang di hadapan beliau. Beliau akan membangunkanku bila hendak mengerjakan shalat witir.” (Muttafaq ‘alaih).

Rasulullah saw. menghimbau ummatnya untuk mengerjakan shalat malam dan menganjurkan agar suami istri hendaknya saling membantu dalam mengerjakannya. Sampai-sampai sang istri boleh menggunakan cara terbaik untuk itu, yaitu dengan memercikkan air ke wajah suaminya! demikian pula sebaliknya. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati seorang suami yang bangun pada malam hari untuk mengerjakan shalat malam lalu membangunkan istrinya untuk shalat bersama. Bila si istri enggan, ia lalu memercikkan air ke wajah istrinya (supaya bangun)”.

Kultum 7 Januari 2008

Agama fitrah

Seorang Muslim adalah khalifah Allah di muka bumi. Keberlangsungan kehidupan di atas bumi adalah kewajibannya. Islam melarang ummatnya menjauh dari pentas kehidupan dunia, seperti kehidupan yang dianggap suci oleh ummat budha dengan bertapa atau mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan. Begitupula bagi seorang Hindu bahwa menjauh dari kehidupan dunia berarti seseorang telah masuk dalam kedamaian sejati sehingga seorang hindu sangat bercita-cita untuk menjadi shadu karena itu adalah posisi tertinggi dikalangan mereka. Demikian pula dalam agama Kristen Katolik yang menganggap untuk mencapai kehidupan yang sempurna, seseorang harus bisa membuat jarak yang cukup jauh dengan keduniaan seperti kehidupan membujang (celibate) seperti yang dilakukan oleh Bunda Maria dalam pengertian mereka.

Lain halnya dengan Islam, yang diharuskan bagi ummatnya untuk terlibat dalam proses-proses sosial, dan mereka harus bisa menjadi saksi sejarah bagi kelangsungan hidup makhluk manusia sebagai tanggung jawab selaku khalifah Allah.

Kesucian dalam Islam adalah kemampuan manusia dalam memelihara fitrahnya dari kerusakan sebab sebagai manusia, ia bukanlah malaikat yang memiliki kekuatan spiritual yang sangat tinggi. Manusia memiliki nafsu seperti makan, minum, beristri dan beranak-pinak, sedangkan malaikat tidak demikian. Jadi sangan lumrah sekali jika para malaikat dianggap sebagai salah satu diantara makhluk Allah paling suci karena ketiadaan hawa nafsu.

Manusia sebagai makhluk Allah ditempatkan di muka bumi, dan diberikan nafsu agar dapat menikmati kehidupan dunia dalam batas-batas tertentu yang dihalalkan Allah swt. Sifat naluriah manusia untuk mendapatkan keturunan merupakan proses panjang yang harus dilalui dengan mengikuti tuntunan Allah (swt) agar kesucian dirinya tetap terjaga diantaranya dengan menjaga spiritual dan kesalehannya sebagai seorang makhluk Allah.

Ukuran kesalehan menurut agama Islam bukan dengan memutuskan hawa nafsu tetapi dengan memeliharanya dan mengendalikannya. Islam melarang seorang Muslim mengharamkan diri dari makan dan minum dengan keinginan sendiri. Islam bahkan mengharamkan tindakan berlebihan dalam makan dan minum karena dianggap sebagai perbuatan yang mubazzir. Batasan yang diberikan oleh Islam sudah sangat jelas, yakni berbuat di tengah-tengah : tidak berlebihan dan tidak menjauhi sama sekali.

Islam tidak melarang mereka menikmati keindahan hidup asalakan tidak berlebihan dan sesuai kebutuhan. Islam sangat membenci kemewahan yang melampaui batas kemampuan, sebab hal itu dapat menjatuhkan kesucian dirinya. Untuk itulah Islam mewajibkan seorang hamba untuk mengekang diri pada waktu-waktu tertentu dengan berpuasa agar dirinya terlatih dalam mengikuti arus kehidupan dan tidak terjerumus dalam tipu daya hawa nafsu.

Prinsip kesederhanaan sangat ditekankan dalam Islam, sebagaimana hadits Rasulullah saw menyebutkan : “sebaik-baik perkara adalah pertengahannya”, yang tujuannya agar manusia tidak mengalami gangguan ketenangan hidup dan kebahagiaan hatinya akibat keinginan yang terlalu ditekan atau keinginan yang terlalu diperturutkan.

Dalam menjalankan perintah agama juga demikian. Seperti terlalu berlebihan dalam memahami agama sehingga memandang hina agama lain atau bahkan saudara seagama tapi lain pemahaman dengannya, atau terlalu longgar sehingga tidak memperhatikan sunnah-sunnah dalam ibadah melainkan hanya yang wajib itupun dengan memilah-milah mana yang paling mudah dilakukan dan sesuai dengan selera bukan seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah saw.

Inilah asal muasal timbulnya ajaran sesat yang tidak sesuai sebenarnya dengan ajaran Islam, begitupula dengan hati nurani dan fitrah manusia. Maka oleh sebab itu kalau kita ingin bicara tentang fitrah, atau ingin mengetahui ajaran yang sesuai dengan batasan naluri manusia, maka tidak adal jalan lain selain kembali pada ajaran Islam yang murni, sebab agama yang paling baik adalah agama yang tidak terdapat didalamnya suatu ajaran pun yang bertentangan dengan fitrah manusia.

Kultum 8 Januari 2008

menyambut Tahun Baru Hijriyah

Bulan Muharram yang merupakan awal bulan dalam tahun hijriyah yang untuk tahun ini kita telah berada di tahun 1429 H. Tahun hijrah merupakan moment yang sangat penting bagi seorang muslim yang paling tidak harus memunculka adanya kesadaran baru dalam diri seseorang diantaranya :

Pertama, kesadaran bahwa usia telah berkurang sementara simpanan pahala masih relatif kurang, tidak sebanding dengan nikmat-nikmat Allah yang telah kita manfaatkan. Detik demi detik dalam kehidupan kita selalu mengalir nikmat Allah namun kesadaran untuk bersyukur tak kunjung hadir dalam kehidupan kita.

Kedua, kurangnya kita menaruh perhatian terhadap tanda-tanda alam bahwa telah terjadi pergeseran alam yaitu dengan munculnya bulan sabit tahun baru diufuk barat yang menandakan tibanya tanggal 1 Muharram. Kita terlalu sibuk dengan urusan kita sendiri tanpa mau peduli akan wujud alam ini. Padahal Allah SWT selalu mengajak kita agar memperhatikan pergantian waktu untuk pelaksanaan kewajiban ibadah terhadapNya.

Dalam menjalani shalat misalnya, Allah menegaskan dalam Al-Qur’an agar ditegakkan pada waktu-waktu tertentu, firman Allah :

فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

“maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Nisa: 103).

Secara lebih rinci hadits Rasulullah telah menginformasikan kepada kita tentang waktu pelaksanaan sholat, bahwa waktu shalat Dzuhur setelah tergelincir matahari, shalat maghrib, setelah terbenam matahari, shalat subuh setelah terbit fajar dan lain sebagainya. Dalam menlaksanakan puasa Ramadlan, kita juga diajarakan oleh Rasulullah SAW agar memulainya setelah melihat bulan tanggal satu Ramadlan, dan mengakhirinya pun setelah melihat bulan akhir Ramadhan (HR. Imam Muslim). Begitupula Ibadah haji diperintahkan kepada kita agar dilaksanakan pada bulan yang telah ditentukan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah;

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi” (QS. Al-Baqarah: 197).

Dengan demikian dapat kita simpulkan betapa eratnya aktifitas ibadah kita dengan pergantian waktu. Seolah ada pesan untuk kita agar memperhatikan dengan cermat alam ciptaan Allah di jagad raya dengan kesadaran untuk melakukan ibadah-ibadah khusus kepadaNya.

Bulan Muharram yang menandakan sebagai awal tahun Hijriyah memiliki arti yang sangat penting dalam sejarah ummat Islam. Sebab seperti awal turunnya Al-Qur’an dan bulan kemenangan ummat Islam pada peperangan Badar sebagai perang yang paling dahsyat terjadi pada bulan muharram ini. Bahkan dengan diketahuinya awal bulan hijrah ini, menjadi dasar penentuan dari hari besar Islam seperti penentuan hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Dari sini, hendaklah kita lebih banyak bercermin dari kejadian masa lalu yang menjadi sejarah bagi kehidupan kita agar tidak mengulang kesalahan itu lagi, sebagaimana sebuah hadits Rasulullah menyebutkan: ” Hendaklah seorang mu’min tidak terjerumus dalam jurang yang sama dua kali”. ( HR Muslim). Dengan menjadikan momentum hijrah sebagai peringatan, berarti kita telah membangun masa depan yang lebih baik sehingga kita kemudian menjadi pribadi yang kokoh, tangguh dan handal.

Kultum 9 Januari 2008

KEWAJIBAN MELAKUKAN HIJRAH

Membicarakan peristiwa hijrah Rasulullah Saw dari Mekkah ke Madinah, (berangkat dari Mekkah pada hari Kamis malam tanggal 1 Rabiul Awal/16 Juni 622 M, sampai Yasrib/Madinah sebelum zhuhur hari Senin 12 Rabiul Awal/28 Juni 622 M) seakan tidak pernah kering dari makna-makna yang kian hari semakin relevan dengan perkembangan sejarah manusia. Sebab momentum itu telah memberikan kepada umat Islam sebentuk harapan bagi masa depan yang lebih baik.

Bagi kita di zaman kini, refleksi peristiwa hijrah tersebut semakin terasa signifikansinya. disaat kita berada dalam pergantian abad (dari abad 20 memasuki abad 21). Sebab keberhasilan menyongsong masa depan itu sangat ditentukan oleh pengembangan sumber daya manusia.

Itulah sebabnya bagi kita umat Islam yang memiliki harapan terhadap masa depan itu sangat bermakna jika mencoba menkaji refleksi strategi nabi Muhammad, termasuk dalam peristiwa hijrah bagi kehidupan kita di zaman kini, terutama dalam pengembangan sumber daya manusia. Apalagi jika dihubungkan dengan petunjuk Tuhan agar kita semua senantiasa dapat menauladani hidup para nabi (QS.60/al-Mumtahanah:6).

Istilah hijrah diartikan sebagai perpindahan seseorang dari suatu tempat yang lain. Sedangkan menurut Islam, hijrah diartikan sebagai “Keluarnya Rasulullah Saw, dari kota Mekkah, kota kelahirannya, menuju Yasrib/Madinah, suatu daerah yang lain, dengan niat dan kepentingan disamping untuk keselamatan dirinya dan juga demi pengembangan ajaran Islam yang wajib disiarkannya, dan akan kembali lagi pada suatu waktu kemudian”.

Al-Qur’an al-Karim secara mengesankan menggambarkan bagaimana strategisnya momentum hijrah itu, dan Allah mengancam mereka yang tidak melaksanakannya, seperti terlihat dalam firman Allah swt. :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ آوَواْ وَّنَصَرُواْ أُوْلَـئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يُهَاجِرُواْ مَا لَكُم مِّن وَلاَيَتِهِم مِّن شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُواْ وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah, serta berjihad dengan harta dan jiwa pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat, kediaman dan pertolongan (kepada muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi”. “Dan terhadap orang-orang yang beriman tapi belum berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. 8/al-Anfal:72)

Momentum hijrah mempunyai makna yang strategis, sehingga peristiwa tersebut tidak tepat kalau dipahami sebagai pelarian Nabi dari penderitaan karena tekanan kaum musyrikin di Mekkah. Seperti pemaham yang banyak sekali dilontarkan oleh para orientalis, yang belum memahami ajaran Islam dan sirah Nabi secara benar.

Kultum 10 Januari 2008

MAKNA HIJRAH BAGI KEHIDUPAN MUSLIM modern

Paling tidak ada lima makna yang amat strategis yang terkandung dalam momentum hijrah Nabi, yang dalam tingkat tertentu dapat kita refleksikan pada kehidupan Muslim modern:

1. Hijrah sebagai strategi perjuangan Nabi. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Nabi membangun basis dan kekuatan umat Islam dari bawah yaitu membangun Mesjid Quba. Sebab mesjid dapat dipandang sebagai pusat melakukan ibadah dan tempat mengembangkan kebudayaan Islam. Hijrah juga dilakukan agar lebih leluasa memberi pemahaman tentang Islam dan agar kaum muslimin dapat melaksanakan pengamalan Islam secara sempurna dalam kehidupan mulai dari pelaksanaan ibadah hingga pelaksanaan seluruh ajaran Islam tentang sosial, ekonomi dan politik.

2. Penegasan identitas umat Islam. Peristiwa ini menguji sampai dimana orang beriman sanggup dan dapat menegaskan identitas keislamannya. Kalau ketika di Mekkah mereka sangat sulit dan tidak berani menegaskan identitasnya, maka ketika di Madinah umat Islam harus berani menegaskan identitas keimanan dan keislaman agar mereka dapat membangun masyarakat Islam yang kaffah (menyeluruh). Bahkan ketika Nabi kembali ke Mekkah dan berhasil menaklukkannya, status keislaman harus dapat ditunjukkan meskipun ummat dari berbagai agama lain (Yahudi dan Nashrani) diberi kebebasan menunjukkan identitasnya dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing.

3. Membangun Peradaban. Dipilihnya Madinah sebagai tempat tujuan hijrah, berarti bahwa hijrah bermakna pembangunan tahta peradaban (sebagai makna dari kata Madinah). Untuk membangun tahta peradaban umat Islam, Nabi membangun tiga arah pembangunan umat Islam, yaitu: mengarah pada Budaya, Kerja dan pembangunan ekonomi atau permodalan (Kapital). Hingga saat ini tiga masalah tersebut menurut Malik ben Nabi merupakan syarat bagi pembangunan peradaban Islam yang harus ditata diatas keyakinan agama yang kuat.

4. Konsep Persatuan. Hijrah juga merupakan penegasan konsep persatuan sesama Muslim (ukhuwah islamiyah, sebagaimana diperankan Muhajirin dan Anshar), dan bahkan melalui Piagam Madinah, Nabi memberi contoh bagaimana mengatur kehidupan masyarakat yang pluralistik dalam ukhuwah insaniyyah atau persaudaraan sesama manusia.

5. Konsep Masyarakat Egalitarian. Hijrah juga merupakan strategi membangun masyarakat yang egaliter (penuh kebersamaan). Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan bahwa ketika Abu Bakar bersedih di Gua Tsur, lalu Nabi menenangkannya dengan berkata : “Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”, (Q.S. al-Taubah:40). Akan tetapi disaat Nabi sangat gelisah ketika Perang Badr, dan terus menerus berdo’a, Abu Bakar menenangkannya dengan berkata : “Cukup-cukuplah do’amu, karena sesungguhnya Tuhan akan melaksanakan apa yang dijanjikannya kepadamu”. Ini menggambarkan bagaimana kebersamaan yang dipraktekkan oleh dua manusia (pemimpin dan yang dipimpin) saling menasehati dan mengingatkan. Perkataan Nabi yang mengucapkan kata “kita”, mengingatkan betapa dalam ucapan Nabi besar itu tidak pernah lepas dari kebersamaan meski dalam kondisi terdesak.

Dapat kita simpulkan dari kajian diatas bahwa banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari peristiwa hijrah tersebut untuk kita aplikasikan dalam upaya pembangunan masyarakat Islam.

Kultum 11 Januari 2008

MACAM-MACAM SYIRIK (Bag.I)

Para ulama berbeda pendapat dalam mengungkapkan pembagian syirik meski intinya tidak terlepas dari tiga penggunaan kata syirik yang telah dibahas di atas. Namun pembagian yang merangkum semuanya bisa kita katakan bahwa syirik terbagi menjadi dua:

1. Syirik Akbar.

Syirik ini terbagi menjadi dua:

1) Syirik yang berkaitan dengan dzat Allah Swt. atau syirik dalam rububiyah Allah Swt. Syirik ini terbagi lagi menjadi dua:

(1) Syirik dalam ta’thil, seperti syirik yang dilakukan oleh Fir’aun dan orang-orang atheis.

(2) Syirik yang dilakukan oleh orang yang menjadikan sembahan lain selain Allah Swt. tetapi tidak menafikan asma (nama-nama), sifat-sifat dan rububiyah Nya, seperti syirik yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yang menjadikan Allah Swt. sebagai salah satu dari tiga Tuhan (trinitas).

2) Syirik yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah Swt. atau syirik dalam uluhiyyah. Syirik ini ada empat jenis:

(1) Syirik dalam berdo’a; yaitu berdo’a kepada selain Allah Swt..

(2) Syirik dalam niat, keinginan dan kehendak. Beramal karena ditujukan kepada selain Allah Swt. menyebabkan pahalanya hilang.

(3) Syirik dalam keta’atan; yaitu seorang hamba taat kepada makhluk dalam perbuatan ma’shiyat kepada Allah Swt..

(4) Syirik dalam mahabbah; yaitu seorang hamba mencintai makhluk seperti cintanya kepada Allah Swt..

2. Syirik Ashghar.

Syirik Ashghar terbagi menjadi dua:

1) Yang Zhahir (tampak);

(1) Mengerjakan amal dengan riya`. Melakukan perbuatan untuk selain Allah Swt. yang zhahir (tampak)nya untuk Allah Swt., tetapi dalam hatinya tidak ikhlas karena Allah Swt.. amal

(2) Dengan ucapan, seperti bersumpah dengan selain Allah Swt., perkataan: Ma Syaa Allah wa Syi`ta.

2) Yang Khafiyy (samar);

Yaitu sesuatu yang kadang-kadang, terjadi dalam perkataan atau perbuatan manusia tanpa ia sadari bahwa itu adalah syirik. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas -radliyallaahu ‘anhuma- bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الشرك فى أمتي أخفى من دبيب النمل على الصفا

“Syirik bagi umatku lebih halus (samar) dari pada barjalannya semut di atas batu yang licin (hitam).” (Hadits ini dishahihkan oleh Syekh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no 3730 dan 3731)

Karena begitu halusnya syirik ini sehingga para sahabat bertanya pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bagaimana caranya terhindar dari syirik ini? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Katakanlah (Bacalah) oleh kalian semua

اللهم إنا نعوذبك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلمه

Ya Allah, kami berlindung kepada Mu dari perbuatan (kami) menyekutukan Mu dengan sesuatu yang kami ketahui dan kami memohon ampunan kepada Mu dari sesuatu yang tidak kami ketahui.” (HR Imam Ahmad)

Kultum 12 Januari 2008

MACAM-MACAM SYIRIK (Bag.II)

Syirik yang digunakan dalam berbagai bentuknya bisa berarti syirik akbar atau syirik ashghar. Syirik akbar dibagi dalam 2 bagian :

1. Syirik rububiyah : yaitu menyekutukan Allah Swt. dalam hal kekuasaan, mencipta, memberi rizqi dan mengatur alam.

2. Syirik uluhiyah : yaitu syirik yang banyak dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy. Yang menyembah Tuhan selain Allah dan mendustakan Rasulullah.

Sedangkan syirik asghar adalah adalah Riya’. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw. : “Sesungguhnya hal yang paling kutakutkan pada diriku dan pada diri kalian adalah“syirkul asghar”. Sahabat bertanya apa itu “syirkul asghar”, Lalu Rasulullah mengatakan yaitu : “RIYA’”.

Sikap hati-hati dalam menghindari riya’ dibutuhkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Ada beberapa contoh kasus yang perlu kita perhatikan untuk menghindari perbuatan riya’.

1. Tidak mengharap perhatian dan pujian dari seseorang karena rajin ibadah, shadaqah, bagus dalam shalat, rajin puasa sunnah, dll. Hal ini bisa saja terjadi pada seseorang misalnya ketika melakukan shalat ia panjangkan berdiri, ruku’ dan sujudnya kemudian ia tampakkan kekhusyu’annya di hadapan orang banyak, ketika ia puasa, ia tampakkan bahwa dirinya sedang puasa, misalnya dengan mengatakan: “Apa anda tidak tahu bahwa hari ini Senin (atau Kamis) ?” “Apa anda tidak puasa ?” Atau ia katakan: “Hari ini saya undang anda untuk berbuka puasa bersama ?”.

2. Demikian pula haji dan jihad. Ia pergi haji dan jihad tetapi tujuannya riya`.

3. Riyanya orang-orang yang cinta dunia seperti orang yang angkuh dan sombong ketika berjalan, memalingkan mukanya atau menggerakkan kendaraannya dengan gerakan khusus.

4. Riya` dengan teman atau orang yang berkunjung ke rumahnya, seperti orang yang memaksakan diri meminta seorang ‘alim atau seorang yang dikenal ahli ibadah untuk datang ke rumahnya agar dikatakan bahwa fulan telah mengunjungi rumahnya, atau sebaliknya ia kunjungi mereka (orang-orang ‘alim dan ahli ibadah) agar dikatakan bahwa kami telah mengunjungi fulan atau kami telah bertemu dengan ‘alim fulan dan yang lainnya.

5. Riya dengan perkata juga bisa terjadi pada orang-orang ahli agama sekalipun. Seperti orang yang memberikan nasehat di majlis-majlis, kemudian ia menghafal hadits-hadits dan atsar-atsar khusus untuk acara-acara tertentu agar bisa berbicara dan debat dengan orang-orang, sehingga tampak di hadapan mereka bahwa ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal tersebut, tampak di hadapan mereka bahwa ia memiliki ilmu yang kuat dan perhatian yang besar terhadap keadaan ulama-ulama salaf, tetapi ketika kita lihat di rumahnya bersama keluarganya, ia adalah orang jauh dari keadaan tersebut.

6. Contoh lain adalah menggerak-gerakkan kedua bibir untuk berdzikir di hadapan orang banyak dan menampakkan kemarahan terhadap kemunkaran di hadapan orang, tetapi ketika ia berada di rumah ia tidak mengingkari atau lalai melakukan hal tersebut.

Semua contoh-contoh perbuatan riya’ diatas, dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan keikhlasan beribadah kepada Allah.

Kultum 13 Januari 2008

KASIH DAN ADIL

Anda mengasihi seseorang? Apa buktinya? Hanya anda dan orang yang dikasihi yang tahu. Bila kita mendengar pendapat orang bijak, maka jawabannya adalah kasih itu memberi.

Dalam bahasa Arab, kasih adalah rahim, darinya diambil ungkapan rahim ibu. Rahim ibu ini merupakan lambang kasih, yaitu memberi. Bagaimana tidak, jabang bayi/janin di dalam rahim ibu terus saja disuplay makanan dan minuman tanpa ada sedikitpun rasa untuk minta imbalan balas jasa. Kata Syekh Sya’rawi, kalau ingin melihat kasih yang nota bene memberi, maka lihatlah rahim ibu yang memberi dan tidak pernah meminta.

Begitu juga dengan cinta/kasih dengan tanah air dilakukan dengan memberikan jiwa dan raga kepadanya, yang dalam istilah Islam disebut Jihad. Cinta/kasih kepada anak dan isteri dilakukan dengan memberi hasil jerih payah membanting tulang seharian bekerja untuk menafkahi mereka agar dapat hidup layak. Sikap memberi di atas dilakukan berdasarkan cinta, dan itulah cinta kasih sayang yang hakiki.

Bila benar seorang isteri mengasihi suami, maka di antara bukti kasihnya yang besar ialah ia merelakan suami untuk mencari isteri lagi. Tidak lain tidak bukan alasannya, karena hakikat kasih itu adalah memberi.

Ada pernyataan bahwa bukti kasih Tuhan kepada hamba-Nya adalah Dia mensyariatkan poligami. Inilah pernyataan yang benar. Karena ada yang menduga bukti ketaqwaan itu tidak mendekati isteri, menghindar dari dunia, dengan cara puasa tidak pernah berbuka, tahajjud dan tidak tidur malam. Kesalahan persepsi ini pernah tercetus dibenak sahabat Nabi Muhammad dan Nabi pun melarangnya.

Tidak menikah bukanlah prestise dan satu hal yang patut dibanggakan. Tapi merupakan sikap lemah dan tercela. Manusia bukan Tuhan. Manusia makhluk dan Tuhan Khalik/Pencipta. Sebagai Pencipta yang Mahakuasa maka sifat Tuhan yang hakiki itu tidak punya isteri dan anak, sedangkan sifat manusia yang sempurna ialah menikah dan memiliki keluarga.

Dalam sejarah ditemukan para nabi yang dikasihi-Nya melakukan poligami. Lihat saja bapak para nabi, Ibrahim a.s, Nabi Daud, Ya’kub a.s dan Nabi Muhammad saw. semuanya melakukan poligami agar kasih-Nya tersebar. Agar kekhalifahan, memakmurkan bumi dan ibadah kepada-Nya dapat ditegakkan oleh keturunan saleh yang mayoritas. Dalam istilah Nabi disebut dengan al-wadûd wal walûd. Dari sejarah ini jelaslah bahwa poligami bukan monopoli syariat Islam. Ajaran para nabi membenarkan adanya poligami sebagai wujud kasih-Nya.

Menurut Tafsir Sya’rawi, secara dasar keadilan diminta saat beristeri satu (monogami) maupun banyak (poligami). Seorang yang melakukan monogami bisa saja tidak berlaku adil pada isterinya, dan pelaku poligami dapat berbuat sebaliknya. Contoh monogami yang tidak adil ialah meninggalkan isteri lebih dari empat bulan, atau suami yang workholic/candu bekerja hingga melupakan isteri walau hidup serumah.

Sebagaimana khusyu’ dalam shalat bukan merupakan syarat dan rukun, begitu juga adil dalam poligami bukan merupakan syarat dan rukun. Khusyu diharapkan dalam shalat munfarid (sendiri) atau jama’ah, begitu pula keadilan diharapkan dalam monogami atau poligami.

Poligami bukti kasih-Nya. Bagi orang yang ingin menyebarkan keadilan maka lakukanlah monogami, sedangkan orang yang ingin menyebarkan kasih-Nya maka lakukanlah poligami. Hal ini berdasarkan pada dialog yang kita kutip dalam tafsir Syara’wi.

Ketika seseorang melaporkan hal ikhwal sengketa keluarga, berkata “Wahai hakim, putuskanlah perkara kami secara adil.”

Hakim berkata: “Maukah kamu suatu hal yang lebih baik dari adil.” Mereka berkata: “Adakah yang lebih baik dari adil?” Hakim berkata: “Ada, itulah fadilah/kasih. Kamu saling memberi kepada saudaramu apa yang menjadi hakmu.”

Poligami adalah usaha untuk saling mengasihi/memberi bukan untuk tegaknya keadilan. Bila kita adalah hamba Allah yang Maha Pengasih dan dipinta untuk menyebarkan kasih, maka poligami itu adalah satu diantara cara untuk menyebarkan kasih-Nya.

Kultum 14 Januari 2008

ETOS KERJA MENURUT ISLAM

Manusia dan kerja adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut Islam keadaan dan keberadaan manusia dinilai dari kerjanya. Tanpa kerja, manusia lemah sehingga dianggap kurang berarti keberadaannya. Bahkan dengan tegas Allah berfirman :

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib manusia sebelum mereka merubah apa yang ada pada dirinya”. (QS. 13/al-Ra’d :11).

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh, selain apa yang telah diusahakannya” (QS.53/al-Najm:39)

Berangkat dari petunjuk Allah SWT tersebut, maka sangat relevan kalau kita berbicara tentang etos kerja sebagai salah satu ciri dari manusia modern. Secara harfiah perkataan etos berasal dari bahasa Yunani, yang berarti watak atau karakter. Dengan demikian etos adalah karakteristik (watak) dan sikap, kebiasaan, serta kepercayaan seseorang dalam memandang kerjanya dan cara menangani kerjanya.

Karena Islam menggariskan kerja sebagai unsur penting keberadaan manusia itu sendiri. Maka manusia diciptakan Allah karena adanya kerja itu sendiri, jika manusia tidak bekerja, itulah yang membuat manusia keluar dari eksistensinya yang sesungguhnya.

Oleh karenanya sungguh beralasan mengapa nabi menjelaskan bahwa Allah SWT mencintai Hamba-Nya yang bekerja. Nabi Muhammad pernah mencium tangan sahabat Saad bin Muadz ketika melihat tangan Saad sangat kasar akibat bekerja keras, seraya berkata : “Kaffani yuhibbuhuma llahu ta’ala” artinya inilah tangan yang dicintai Allah ta’ala. Nabi Muhammad SAW mengingatkan pula bahwa bekerja dengan sepenuh hati, mengejar kesempurnaan (perfectness) merupakan hal yang sangat dicintai Allah, Karena Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja dengan sempurna. Allah sendiri menyatakan DiriNya senantiasa berada dalam kesibukan Allah (QS.Ar-Rahman:29). hal ini memberi tuntunan kepada manusia agar senantiasa bekerja; bahkan dalam sebuah ayat Allah memerintahkan :

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ

setelah selesai dengan pekerjaan yang satu agar dilanjutkan dengan pekerjaan lain” (QS. 94/Al-Insyiraah:7)

Maka dalam Islam tidak ada istilah istirahat kerja, sebab Setelah kita menyelesaikan satu rencana, Islam mengajarkan agar kita mengerjakan urusan atau menyelesaikan program-program kerja selanjutnya dengan sungguh-sungguh.

Dalam hal kerja ada satu hal yang perlu diingat bahwa banyak orang yang bekerja, namun ia tidak tahu mengapa Allah dilibatkan dalam kerjanya. Banyak orang yang bekerja hanya untuk uang, terlepas apakah itu dilakukan atas dasar iman kepada Allah atau tidak, bukan hal yang penting. Padahal sesungguhnya manusia dituntut agar mengerahkan hidup nya untuk Allah dan juga matinya juga karena Allah.

Maka oleh sebab itu hendaklah usaha atau kerja itu dilakukan dengan niat ikhlas, yaitu dengan mengharap ridha Allah. Sebab setiap orang akan menerima imbalan atau balasan dari Allah sejalan dan seimbang dengan amal perbuatannya (QS.99/Az-Zalzalah:7-8).

Dan sesungguhnya seseorang akan dinilai kerjanya berdasarkan niat, jika niatnya dunia maka akan mendapatkan dunia dan tidak sedikitpun memperoleh bagiannya diakhirat.

Kultum 15 Januari 2008

JUJUR DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Masalah JUJUR termasuk salah satu topik yang sangat ramai dibicarakan oleh setiap lapisan masyarakat. Hal ini termasuk sebuah fenomena yang sangat menarik untuk diperhatikan. Selain merupakan dasar agama, kejujuran juga salah satu syarat berkembangnya sesuatu bangsa.

Jujur termasuk salah satu sikap yang langka dan sangat mahal dan hampir terabaikan oleh masyarakat, bangsa atau negara. Maka untuk kemajuan bangsa perlu ditumbuhkan kesadaran sikap jujur ini sehingga tercapai ketertiban, keadilan dan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat.

Di dalam Al-Qur’an kata jujur disebutkan sebanyak + 145 kali. Pengertian orang yang jujur adalah orang menyampaikan sesuatu sesuai dengan kenyataan dan perkataannya tidak bertentangan dengan perasaannya. Kejujuran seseorang belum benar bila hanya berupa perkataan, tetapi mesti disertai dengan perbuatan. Dengan penjelasan-penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa jujur adalah perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan kenyataan serta mengandung kebenaran. Begitupula sebaliknya seseorang itu belum melakukan kejujuran bila hanya perbuatannya yang benar, sedangkan perkataannya mengandung kebohongan dan menimbulkan kekacauan dan keonaran.

Ahmad Khalil Jum’at menuliskan ada enam tingkatan kejujuran. Setiap tingkatan memiliki maknanya masing-masing yang sesuai dengan tingkatannya, yakni sebagai berikut :

Ø Jujur perkataan, yaitu pemberitaan dan penyampaian pesan yang mengandung kebenaran dan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Di dalamnya juga termasuk pemberian janji-janji dan menepatinya.

Ø Jujur niat dan kemauan, yakni keikhlasan kepada Allah SWT, dalam setiap gerak dan tindakan. Apabila terdetik perasaan ria dan keangkuhan dalam melakukan sesuatu, maka kejujuran niat dan kemauannya menjadi rusak hingga masuk dalam kategori dusta.

Ø Jujur dalam pendirian, yaitu kehendak kuat kepada kebaikan. Hal ini seperti pernyataan “apabila Allah SWT memberikan suatu kekuasaan kepada saya, maka saya akan bertindak adil dan jujur”. Pada saat ia mendapatkan suatu kedudukan, sekecil apapun jabatannya, ia harus berbuat adil dan jujur, walaupun tantangan-nya sangat berat. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakannya, maka ia tergolong orang yang tidak jujur atau pendusta.

Ø Jujur dalam kesetiaan pada rencana. Hal ini berkaitan dengan sikap dan tindakan terhadap rencana untuk melakukan kebaikan. Ketika hendak melakukan sesuatu, lazimnya seseorang membuat rencana. Pada saat melaksanakan rencana tersebut ia tetap istiqamah dan menolak rasa ragu-ragu, rasa malas serta perasaan-perasaan yang tidak baik lainnya untuk melakukannya secara sempurna, walaupun terhadap tantangan yang sangat berat. Sikap dan tindakan seperti inilah yang tergolong jujur terhadap rencana.

Ø Jujur dalam perbuatan, yakni melakukan sesuatu yang baik dan benar secara sungguh-sungguh dalam berbagai situasi dan kondisi. Di dalamnya terdapat kesesuaian antara pernyataan bathin dengan sikap dan tindakan yang dimunculkan.

Ø Jujur dalam menjalankan ajaran-ajaran agama, yakni bersungguh-sungguh dalam melaksanakan seluruh perintah Allah SWT, dengan mengagungkan nama-Nya dan mengharapkan ridha-Nya, tawakal dan hidup zuhud (tidak terlena dan hanyut dalam kemegahan duniawi). Kejujuran dalam bentuk inilah yang tertinggi dan paling mulia. Karena dengan kejujuran ini seseorang itu telah memenuhi tujuan penciptanya di permukaan bumi ini yang tiada lain adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. (Lihat QS.Adz-Dzariyaat, 51:56), dan dengan mematuhi seluruh perintah Allah SWT, hal-hal yang bersifat negatif dapat terantisipasi dengan baik.

Kultum 16 Januari 2008

BELAJAR ETOS KERJA DARI KARAKTER ALAM

Etos kerja adalah semangat pantang menyerah dalam melaksanakan tugas. Untuk itu Allah swt.. menyuruh manusia untuk melihat alam dan belajar darinya tentang etos kerja. Sebab Allah swt.. menciptakan alam disamping sebagai ayat (tanda) ke Maha KuasaanNya, juga sebagai pelajaran bagi kehidupan manusia. Allah swt. berfirman al-Baqarah: 163 :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ السَّمَاء مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2/al-Baqarah:164)

Alam memiliki sifat-sifat, karakter yang mengagumkan, penuh dedikasi dan tak pernah keluar dari ketentuan Allah. Ada beberapa karakter alam yang perlu dipelajari agar menambah etos kerja yang tinggi bagi seorang karyawan, diantaranya :

· Bumi. Memiliki sifat memberi aneka manfaat untuk manusia. Ia selalu memberi kebaikan berupa ruang pada manusia untuk tempat berpijak, tempat tinggal, bercocok tanam, bahkan ia menyediakan air yang cukup demi kelangsungan hidup manusia. Maka pelajaran yang dapat diambil dari hal ini adalah sikap yang rela berkorban memberi kebahagiaan pada orang lain.

· Air, memiliki sifat mengalir ketempat yang rendah, walaupun demikian ia bisa diatur dan diarahkan untuk berbagai keperluan seperti pengairan dan irigasi. Kadang kala air bisa bergejolak dengan menunjukkan kehebatannya berupa air bah, banjir atau tsunami dan gelombang besar, namun ia dengan cepat dapat tenang kembali. Isyarat yang dapat diambil dari karakter air adalah sifat yang mudah diajak untuk kebaikan, menyejukkan bagi orang lain, namun sifat yang amarahnya cepat pulih dan tidak menyimpan dendam.

· Api terkenal dengan sifatnya yang tegas namun tetap terkendali. Etika yang bisa diambil dari sifat api ini adalah ketegasan yang terkendali. Sikap tegas diambil tanpa pandang bulu, namun tetap terkendali, dalam arti ketegasan itu tidak sampai menghilangkan rasa ukhuwah dan kasih sayangnya.

· Angin, memiliki sifat yang selalu aktif (berpindah) untuk memberi kesejukan pada semua orang. Etika yang bisa ditangkap dari angin adalah sikap ramah yang tidak pernah berhenti untuk memberi dan menebar kebajikan. Dapat bergaul dengan semua kalangan tanpa batas. Tidak pernah berhenti dalam kebaikan meski banyak yang menghalangi. Sehingga bila dinasehati tidak marah, kalau terkena teguran tidak tersinggung.

· Matahari, menggambarkan sikap tidak berburu-buru terencana dan terorganisir sehingga segalanya dapat selesai dengan pencapaian target yang memuaskan.

· Bulan, memiliki sifat dan lambang kegembiraan, sehingga karakter ini membuat gembira semua orang, kareana senyumnya yang manis, budinya yang halus, dan ketulusannya memberi kegembiraan pada setiap orang.

· Bintang, tegas tidak gampang tergoda dan terombang-ambing, karakter yang tak mudah gentar menghadapi cobaan, percaya diri, dan terus terang tanpa menutupi.

· Mendung, merupakan karakter sikap adil dalam menjalankan kewenangan, mampu bersikap tegas bagi yang salah, dan senyuman bagi mereka yang berjasa.

Demikianlah beberapa karakter alam yang dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan bagi peningkatan etos kerja seorang karyawan.

Kultum 17 Januari 2008

JIHAD MELALUI USAHA ADALAH LEBIH BAIK

Jihad dalam berbagai bentuknya berulang sebanyak 41 kali dalam Al-Qurán. Kata itu berasal dari kata juhdun dan jahada yang berarti kekuatan, kemampuan, kesulitan dan kelelahan. Dengan demikian kata jihad mengandung makna : Upaya sungguh-sungguh, Kekuatan, Kemampuan, Kesulitan, Kelelahan dalam pelaksanaannya.

Pada umumnya kata Jihad diartikan sebagai berperang di jalan Allah, namun pengertian lebih luas, jihad adalah berbagai aktifitas atau usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka mentaati perintah Allah. Sehingga dengan demikian, termasuk usaha perniagaan jika dijalankan dengan niat untuk penegakan ajaran agama, itu juga dipandang sebagai Jihad.

Ada dua standard yang dijadikan ukuran agar perniagaan itu dapat dipandang sebagai Jihad:

Pertama, apabila usaha perniagaan itu dijalankan untuk memenuhi kebutuhan primer manusia.

Kedua, niat usaha untuk menolong orang banyak, sebab menurut hadits Rasulullah saw: “sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi manusia lain” (Hadits).

Jika kedua standard telah dipenuhi, maka ada tiga hal lagi yang harus diperhatikan:

Pertama, motivasi dilakukannya usaha haruslah dalam rangka ketaatan kepada Allah, jika usaha tersebut dijalankan bukan untuk ketaatan kepadaNya maka usaha belum dapat dikatakan sebagai jihad.

Kedua, menggunakan proses-proses islami dan didasari oleh nilai syariat yang diterapkan Allah.

Ketiga, out put atau aksiologi yang dijalankan berorientasi pada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.

Apabila ketiga syarat ini terpenuhi, maka sebuah usaha dapat disebut sebagai jihad dan dapat menghindarkan pelaksananya dari azab Allah yang pedih.

Sebuah usaha yang dilakukan dalam rangka jihad haruslah memiliki dua orientasi atau tujuan yaitu rabbaniyah dan insaniyah.

Sedemikian pentingnya perniagaan dalam struktur ajaran Islam, hingga teologi Islam seringkali disebut sebagai teologi perdagangan, yaitu seperti yang kita lihat dalam ulasan berikut ini :

Hubungan-hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia adalah bersifat perdagangan betul. Allah adalah saudagar sempurna. Ia memasukkan seluruh alam semesta dalam pembukuan-Nya. Segalanya diperhitungkan, tiap barang diukur. Ia telah membuat buku perhitungan, neraca-neraca, dan Ia telah menjadi contoh buat bisnis-bisnis yang jujur. Hidup adalah suatu bisnis, orang yang untung atau rugi disitu. Bagi yang melakukan pekerjaan yang baik atau jahat akan mendapat ganjaran berupa kebaikan atau keburukan, baik selama di dunia ataupun di akhirat. Hutang-hutang berupa keburukan (dosa) akan ‘diputihkan’ pada saat-saat tertentu, seperi dengan berpuasa di bulan ramadhan, melakukan ibadah seperti dan ibadah-ibdah lain yang dapat menghapus dosa. Sebab Allah bukanlah penghutang yang tidak berbelas kasihan. Orang Islam menghutangkan kepada Allah, ia membayar lebih dulu untuk surga, lalu ia menjual jiwanya kepada-Nya, dan itu adalah suatu tindakan yang menguntungkan.

Maka bagi orang yang tidak percaya akan hal ini, ia membuang kebenaran Ilahi dengan menjualnya dengan harga yang menyedihkan, lalu ia pun bangkrut, seluruh jiwa telah ditahan sebagai jaminan bagi hutang yang telah dibuatnya. Sehingga kelak pada hari kebangkitan, Allah mengadakan perhitungan terakhir dengan umat manusia. Segala tindakannya telah tercatat dalam ‘Buku Perhitungan Besar : tindakan-tindakan tersebut seluruhnya ditimbang pada neraca. Kepada tiap orang dibayar persis jumlah simpanan pahalanya, tak seorangpun tertipu. Bagi orang Islam yang telah membayar berlipat ganda buat dengan perbuatan baiknya, akan menerima tambahan suatu hadiah istimewa berupa syurga dari sisiNya.

Kultum 18 Januari 2008

Hari Asyura

Hari ini adalah hari Asyura (10 Muharram) yang dikenang sebagai hari dimana Allah menyelamatkan Nabi Nuh a.s. dari bencana banjir dan menenggelamkan musuh-musuh-Nya. Asyura juga dikenang sebagai hari Allah menyelamatkan Musa a.s. dari kejaran Fir’aun dan tentaranya. Itulah sebabnya umat Yahudi dan umat Nasrani mengagungkan hari ini. Nabi Nuh dan Musa diriwayatkan melakukan puasa pada hari ini sebagai ekpresi syukur kepada Allah atas kemenangan yang diberikan kepadanya. Umat Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura dan menjadikannya sebagai hari raya. Konon kaum Quraish di masa jahiliyah juga melakukan puasa pada hari Asyura dan mereka menjadikannya hari keramat dimana pada hari itu mereka menjalankan tradisi mengganti kiswah Ka’bah atau kelambu ka’bah.

Ketika Rasulullah berhijrah, beliau mendapati penduduk kota Madinah melakukan puasa pada hari Asyura. Seorang Yahudi mengatakan kepada Rasulullah bahwa Asyura adalah hari agung dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari ancaman musuhnya, sehingga Musa berpuasa pada hari itu, Rasulullah pun menjawab “Aku lebih berhak atas Musa dari kalian” (HR.Sahihain), lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya berpuasa.

Pada masa awal Islam, puasa Asyura adalah wajib bagi setiap muslim hingga turun ayat yang mewajibkan puasa bulan Ramadhan. Di mata Rasulullah s.a.w. hari Asyura begitu istimewa, beliau senantiasa melaksanakan puasa pada hari ini dan memerintahkan umatnya berpuasa demi rasa solidaritasnya kepada saudara seperjuangannya Nuh dan Musa a.s., bahkan pada tahun terakhir kehidupan Rasulullah beliau bersabda “Insya Allah tahun depan saya juga akan berpuasa” (Ashabu Sunan) namun ajal telah menjemput beliau sebelum sempat menyempurnakan tahun itu.

Asyura bagi umat Islam juga menampilkan kilas balik tragedi Karbala yang telah merenggut kedua cucu tercinta Rasulullah s.a.w, Hasan r.a. dan Husain r.a.. Lebih dari itu Karbala adalah tragedi yang menyadarkan kita betapa anarkisme, kekerasan dan tindakan tidak berperikemanusiaan telah menjadi noktah hitam sejarah umat Islam yang tidak akan pernah layak untuk terulang kembali.

Masyarakat kita juga banyak menjalankan beberapa tradisi beragam berkaitan dengan hari Asyura. Ini menandakan betapa mengakarnya hari Asyura dalam tradisi dan budaya sebagian masyarakat kita.

Di atas makna dan peristiwa yang terjadi bersamaan dengan hari Asyura ini, kita disunnahkan untuk mendirikan ritual puasa. Ada yang mengatakan puasa dilakukan pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena keduanya pernah dilakukan Rasulullah dan sahabatnya. Namun ada yang mengatakan bahwa Asyura hanya tanggal 10 Muharram. Puasa yang kita lakukan, tentunya mempunyai kandungan makna yang cukup mendalam dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena menanamkan kepada kita nilai-nilai pengorbanan, perjuangan, solidaritas antar umat beragama, tenggang rasa dan yang terpenting semangat anti kekerasan dan anti anarkisme dalam setiap langkah upaya dan perjuangan kita. Semoga puasa Asyura kita diterima Allah dan mampu mencerminkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kultum 19 Januari 2008

PERANAN KELUARGA DALAM ISLAM

Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan anak, sebab di dalam keluarga adalah tempat pertumbuhan pertama bagi anak dimana dia mendapatkan pengaruh pendidikan dari anggota-anggota keluarga yang lain. Masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah selamanya.

Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan generasi Islam yang unggul dimasa mendatang.

Musuh-musuh Islam telah menyadari pentingya peranan keluarga ini. Maka mereka pun tak segan-segan berupaya menghancurkan dan merobohkannya. Melihat peran keluarga yang cukup besar itu mereka mengerahkan segala usaha untuk mencapai tujuan itu. Mempergunakan cara-cara yang tepat untuk mengaburkan peran ibu sehingga mereka meninggallkan tugas utamanya yakni menjaga keluarga dan mempersiapkan generasi muda Islam.

Diantara upaya mereka merusak generasi muda Islam dilakukan dengan menghadirkan tayangan telivisi untuk ditonton keluarga didalam rumah. Acara yang disuguhkan bervariasi diantaranya kontes pemilihan anak wanita dan ibunya yang tampil bersama dalam acara “MAMA MIA” di sebuah stasiun televisi swasta. Dalam acara itu ditampilkan kontes yang menunjukkan hampir tidak ditemukan perbedaan dan batas antara anak dan ibu sebagai pendidiknya. Mereka tampil bersama dan menampilkan sosok ibu mendukung cita-cita si anak dan siap berkorban memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih busana yang lagi ngetren dengan model yang membuat tampilan sianak lebih seksi. Dalam acara itu ditunjukkan bagaimana seorang ibu dengan gembira tampil bersama anaknya bebas mengekspresikan gerakan diatas panggung dengan gaya menggoda, seolah kepada masyarakat ditunjukkan bahwa beginilah seorang ibu yang berhasil. Kita menjadi semakin sulit untuk mengerti batas antara anak dan orang tua yang seharusnya berperan untuk menjaga si anak dari kerusakan dan kehancuran moral, serta membiarkan anak hidup dalam dunia glamor dan kemewahan.

Para ulama Islam sangat menekankan betapa pentingya pendidikan anak dalam keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan orang tua kepadanya, jika anak dibiasakan dan diajarkan tentang kebaikan maka anak akan tumbuh dalam kebaikan, dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dari akherat. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagaimana binatang temak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh orang tuanya. Maka hendaklah ia memelihara, mendidik dan membina serta mengajari anaknya akhlak yang baik, juga menjaganya dari teman-teman jahat, dan tidak membiasakan anaknya bersenang-senang dan tergila-gila oleh kemewahan, sehingga umurnya habis dalam upaya mencari kemewahan itu sampai tua.”

Demikianlah tugas keluarga, individu dan seluruh lapisan masyarakat untuk turut berperan memberi pendidikan yang baik terhadap anak dan tidak membiarkan mereka hidup menuju jalan kehancuran.

Kultum 20 Januari 2008

PENDAPAT PARA ULAMA MENGENAI POLIGAMI

Menurut Mahmud Syaltut mantan Syekh al-Azhar, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan terhadap para isteri.

Al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari’at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud dalam berpoligami adalah berkaitan dengan naluri laki-laki yang kecenderungannya ingin bergaul lebih dari seorang isteri. seandainya syari’at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami niscaya kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah akan membawanya kepada perzinaan, sehingga oleh sebab itulah maka poligami diperbolehkan dalam Islam.

Dalam ayat tentang berpoligami terdapat kata ma thaba lakum (yang kalian senangi) yang dikemukakan al-qur’an dengan bentuk umum, tanpa ada batasan ataupun syarat apapun. Hanya saja, mencukupkan diri dengan seorang istri merupakan sikap yang dianjurkan oleh syariat dalam satu keadaan tatkala muncul kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Maka diluar kekhawatiran itu, ayat ini tidak pernah menganjurkan untuk menikah hanya dengan satu wanita, begitu pula nash-nash lainnya. Hanya saja, karena poligami merupakan hukum syariat yang tercantum dalam al-qur’an secara jelas, maka peradaban kapitalis dan propaganda Barat langsung menyerang Islam dengan menggambarkan hukum tentang poligami sebagai hukum yang keji dan busuk.

Mereka pun menjadikan poligami sebagai satu alat untuk merendahkan Islam, supaya dengan begitu mempengaruhi kaum muslimin. Lalu kaum muslimin pun berusaha menakwilkan secara keliru nash-nash syari’at yang ada untuk menolak tindakan poligami sebagai bentuk pelecehan terhadap wanita.

Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunnahkah bagi Muslim, tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah , yakni boleh dilakukan jika memang perlu oleh mereka. Realitas semacam ini mengandung pengertian bahwa, syariat Islam telah memberikan kepada manusia suatu pemecahan dengan poligami, yang boleh dipraktekkan bagi mereka yang membutuhkannya.

Dengan demikian, adanya aturan dan kebolehan poligami telah menjadikan poligami sebagai jalan keluar yang layak bagi manusia, yang tidak bertentangan dalam kondisi manusia atau masyarakat.

Bahkan menurut Muhammad Rasyid Ridha ada beberapa hikmah atas dibolehkannya poligami diantaranya :

1. untuk memperoleh keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul,

2. untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri kendati istrinya itu tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri seperti mempunyai cacat badan atau penyakit yang sukar disembuhkan.

3. untuk menyelematkan orang yang hiperseks (keinginan seks yang tinggi) dari perbuatan zina dan krisis akhlak, seperti istri pada masa haid atau nifas, keinginan suami tetap bisa disalurkan.

4. untuk menyelamatkan perempuan-perempuan dari krisis akhlak seperti pada negara yang jumlah perempuannya lebih banyak dari laki-laki. Umpamanya akibat perang yang berkepanjangan dan sebagainya, sehingga dengan berpoligami mereka dapat terselamatkan.

Kultum 21 Januari 2008

MENJALANKAN AMANAH DALAM AKTIFITAS PERUSAHAAN

Dalam ajaran Islam disebut bahwa setiap amal (pekerjaan) yang dilakukan seseorang hendaklah diarahkan untuk mencari ridha ilahi, sebab tujuan hidup dan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Sementara tugas-tugas yang diemban seseorang dalam aktifitasnya sehari-hari pada hakekatnya adalah amanah yang harus ditunaikan. Maka oleh sebab itu setiap muslim hendaklah senantiasa memandang tugasnya atau jabatannya sebagai amanah yang harus ditunaikan, sebab Allah swt. berfirman :

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”, (QS. Al-Mukminun :8)

Amanah harus dijalankan dengan tulus dan ikhlas agar mendatangkan pahala, sebab segala aktifitas hanya mendapatkan nilai pahala apabila niatnya sempurna. Sabda Rasulullah saw: “setiap pekerjaan dinilai dari niatnya, dan seseorang akan mendapatkan nilai sesuai dengan niatnya”.

Seorang yang amanah dalam bekerja bukan tanpa target. Ia akan selalu memanfaatkan waktu, dana, tenaga, sarana dan prasarana yang telah disediakan untuk mengejar target dengan cara berupaya meningkatkan mutu kerja yang maksimal. Sebab apabila hasil kerja kurang memadai, padahal sarana dan prasana sudah tersedia maka itu artinya kurang melaksanaan amanah.

Seorang yang amanah dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat dari kesungguhannya menunjukkan mutu kerja yang sempurna. Untuk itu ia terus menerus melakukan perbaikan dan inofasi dari waktu kewaktu tanpa henti. Maka dengan demikian apabila prestasi kerja seseorang terus merosot dan tidak pernah menunjukkan hasil kerja yang menggembirakan berarti amanah belum dijalankan dengan sempurna. Padahal Rasulullah saw menyebutkan bahwa hendaknya seorang muslim harus melakukan perbaikan dari hari kehari, sebagaimana dalam haditsnya beliau menyebutkan, “keadaan hari ini harus lebih baik dari kemaren, dan keadaan hari esok harus lebih baik dari hari ini jika tidak, maka hidup seseorang akan celaka”. (Hadits).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wujud pelaksanaan amanah dalam suatu bidang pekerjaan tidak hanya dibuktikan dengan ketaatan pemimpin, menejer, staf dan karyawan pada peraturan yang ada, tapi segala upaya yang mendatangkan kebaikan dan keuntungan pada perusahaan dapat disebut telah melaksanakan amanah.

Bagi sebahagian orang memandang amanah suatu beban berat yang dipikulkan kepundaknya, padahal Al-Qur’an dengan tegas menyebutkan tidak ada suatu perintah Allah yang tidak bisa dilakukan manusia, firman Allah ta’ala :

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Allahu tidak akan menyuruh seseorang kecuali atas kemampuannya”. (QS.al-Baqarah : 286)

Perintah Allah termasuk juga perintah untuk menjalankan amanah, sehingga tidak alasan yang membebani manusia untuk tidak melaksanakan amanah itu. Bahkan dianggap manusia itu tidak beriman manakala sikap amanah tidak ada pada dirinya. Sabda Rasulullah saw:

“Tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janjinya, dan tidak ada iman bagi orang yang tidak memegang amanahnya” (HR.Muslim)

Kultum 22 Januari 2008

IKHLASH JALAN KEBAHAGIAAN

Ikhlash dalam bekerja artinya apa pun yang dilakukan hanya dengan niat untuk meraih ridha Allah semata, sehingga muncul kebahagiaan tersendiri karena janji kemenangan yang akan diberikan Allah di dunia dan di akhirat. Rasulullah pernah bersabda : “Seandainya sesorang di antara kalian melakukan suatu kebaikan di tengah padang sahara yang sangat sepi, dalam ruangan tertutup tanpa pintu, amal itu suatu saat pasti akan ketahuan juga “.

Hakikat keikhlasan ini tergambar dalam firman Allah: “Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah , Tuhan semesta alam ” (QS:6:162).

Sebuah hadits yang sangat masyhur, diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim : dari Umar Bin Khattab, Rasulullah bersabda : “Bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwa bagi tiap-tiap orang adalah apa yang ia niatkan”. Oleh sebab itu niat adalah pokok pangkal dari setiap amal, maka barangsiapa niatnya menuju ridha Allah, dan RasulNya, atau dalam rangka menaati perintah ALlah dan Rasulnya, dan tidak keluar dari rel keikhlashan, maka inilah yang dipandang Allah swt. sehingga segala perbuatan yang mereka lakukan mendapat nilai dimata Allah.

Imam Muslim dan Imam Ibn majah, meriwayatakan hadits Rasulullah yang berbunyi : “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada penampilan dan harta kamu sekalian, melainkan melihat kepada hati dan perbuatan kalian”.

Dalam hadits yang lain Imam Muslim meriwayatkan : bahwa yang pertama kali kelak di hari kiamat akan dihakimi adalah : Pertama, seorang yang mati di jalan perang. Ketika ditanya ia menjawab bahwa ia berperang sampai mati syahid. Dikatakan kepadanya: “Kamu bohong. Kamu berperang dengan niat supaya kamu dikatakan pemberani. Dan orang-orang sudah menyebut itu”. Kemudian diperintahkan supaya ia dimasukkan kedalam api neraka. Kedua, Seorang yang mencari ilmu agama dan mengajarkannya, ia mengajarkan Al-Qur’an. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa saya mecari ilmu dan mengajarkannya, saya juga mengajarkan Al-Qur’an. Lalu dikatakan kepadanya : “Kamu bohong. Kamu belajar mencari ilmu dengan niat supaya kamu dikatakan alim, dan orang-orang sudah mengatakan itu”. Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam neraka. Ketiga, seorang yang dikaruniai limpahan harta kekayaan. Ketika ditanya, kemana harta itu dipergunakan, ia menjawab bahwa ia telah menginfakkannya ke jalan-jalan kebaikan. Lalu dikatakan kepadanya: “Kamu bohong, kamu lakukan itu dengan niat supaya dikatakan sebagai seorang dermawan dan orang-orang sudah mengatakan itu”. Lalu diperintahkan supaya orang tersebut diseret ke dalam api neraka.

Keikhlasan adalah ruh dari sekecil apa pun perbuatan kita, dan ikhlash merupakan kunci diterimanya amal. Betapapun banyak amal perbuatan yang telah mengorbankan keringat dan darah hanya menjadi sia-sia disebabkan tidak dibarengi keikhlshan yang murni. Karenanya, mari kita selalu hati-hati dalam menjaga niat agar tetap dalam keikhlasan sehingga amal kita dicatat Allah sebagai amal yang baik. Apalah artinya kalau amal yang kita lakukan hanya ingin diketahui orang dan agar mendapat pujian orang lain bukan pujian Allah. Karena pujian orang banyak tidak bisa mengalahkan pujian Allah dan perkenan dari Tuhan.

Kultum 23 Januari 2008

TAFSIR SURAT AN-NISA :1-2

Poligami termasuk salah satu isu penting dalam pembaruan Islam dan gerakan feminisme. Dalam al-Qur’an, poligami hanya disebut satu kali, yaitu dalam Qs. Al-Nisa’ [4]:3). Ayat ini menjadi dasar hukum bolehnya poligami sekaligus memberikan penafsrian yang lurus karena banyaknya kalangan yang berbeda-beda penafsiran.

Ayat 3 surat an-Nisa tersebut diturunkan di Madinah, yang terdiri dari 176 ayat, merupakan surat terpanjang setelah al-Baqarah. Surat itu diberi nama al- Nisa’ karena kandungan ayatnya banyak memuat penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Ayat pertama surat an-Nisa berbunyi :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya : “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahum. Sesungguhnya Allah selaku menjaga dan mengawasi kamu” (Qs. Al-Nisa [4]:1)

Ayat di atas berisi peringatan agar manusia bertaqwa kepada Allah. Bahkan peringatan itu diulang, dua kali. Pertama, manusia diperingatkan bertaqwa kepada Allah sebagai perwujudan dari kesadaran dirinya sebagai makhluk Tuhan dan kesadaran bahwa sesungguhnya Allah Maha Pencipta. Kedua, manusia diperingatkan untuk bertaqwa kepada Allah karena atas-Nya manusia saling meminta satu sama lain.

Ayat selanjutnya berbunyi :

وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

Artinya : “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar” (Qs. Al-Nisa [4]:2).

Ayat ini berbicara tentang siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka bertaqwa kepada Allah dan memelihara hubungan silaturrahim terhadap orang yang paling lemah yaitu anak yatim. Karena itu ayat ini memerintahkan kepada para wali untuk memelihara harta anak yatim yang berada di bawah pemeliharaannya dan memberikan harta anak-anak yang tersebut bila telah dewasa, dan dilarang untuk menukar memanfaatkan harta mereka secara tidak wajar, serta menggabungkan harta anak yatim dengan harta walinya.

Kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliyah tidak sepi dari peperangan, baik peperangan antar suku maupun antar bangsa. Akibatnya banyak jumlah anak yatim karena ayah-ayah mereka gugur di medan perang. Dalam tradisi Arab jahiliyah pemeliharaan anak-anak yatim menjadi tanggung jawab para walinya dan menguasai harta-harta mereka sampai anak yatim itu dewasa dan mampu mengelola sendiri harta mereka.

Kultum 24 Januari 2008

ETOS KERJA DAN OPTIMISME MENURUT ISLAM

Manusia dan kerja adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut Islam keadaan dan keberadaan manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Sebagaimana firman Allah yang artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib manusia sebelum mereka merubah apa yang ada pada dirinya”. (QS. 13/al-Ra’d :11). Dan firman Allah pula : “Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS.al-Najm/53:39)

Berangkat dari petunjuk Allah SWT tersebut, maka sangat relevan kalau kita berbicara tentang etos kerja sebagai salah satu ciri dari manusia modern. Secara harfiah perkataan etos berasal dari bahasa Yunani, yang berarti watak atau karakter. Dengan demikian etos adalah karakteristik dan sikap, kebiasaan, serta kepercayaan seseorang dalam memandang dan menangani kerja.

Dalam Islam didapati suatu nuktah yang amat fundamental menyangkut etos kerja itu, yaitu bahwa kerja adalah bentuk keberadaan (mode of existence) manusia. Artinya manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat seseorang dikatakan sebagai manusia sesungghuhnya. Oleh karenanya sungguh beralasan nabi menjelaskan bahwa Allah SWT mencintai Hamba-Nya yang bekerja. Allah sendiri menuntun manusia agar senantiasa melakukan kerja lain setelah usai dari satu pekerjaan, Firman Allah :

فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ

setelah selesai dengan pekerjaan yang satu agar dilanjutkan dengan pekerjaan lain” (Al-Insyiraah 94:7).

Ayat ini berisi anjuran agar manusia memiliki sikap dinamis, tidak bermalas-malasan dalam hidupnya atau sebagaimana Allah sendiri yang senantiasa berada dalam kesibukan di setiap saat, firman Allah :

يَسْأَلُهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu dia dalam kesibukan” (QS. 55/al-Rahmaan: 29).

Agar kerja mendapat ridho dari Allah dan menjadi amal sholeh, maka perlu diingat bahwa Allah hanya akan menerima kerja hamba-Nya yang dikerjakan dengan ikhlas. Yaitu dengan mengharap ridha Allah. Setiap orang akan menerima imbalan atau balasan dari Allah sejalan dan seimbang dengan amal perbuatannya (Az-Zalzalah 99:7-8). Nabi Muhammad SAW mengingatkan pula agar umatnya bekerja dengan sepenuh hati, mengejar kesempurnaan kerja karena Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja dengan sempurna.

Selanjutnya Allah menggambarkan bahwa kehidupan manusia penuh dengan perjuangan (Al-Balad 90:4) dan dengan demikian sungguh dapat dimengerti mengapa Allah memberikan penilaian yang tinggi kepada hamba-Nya yang bekerja dengan sungguh-sungguh (kerja-keras).

Sebagai contoh nabi Muhammad SAW bersabda: “Orang yang tertidur di malam hari setelah bekerja keras di siang hari, dia tersebut beristirahat dalam lindungan rahmat dan keampunan dari Ilahi Rabbi.” (HR. Ath Thabrani).

Allah mengisyaratkan kepada manusia agar tidak gentar dan takut mneghadapi berbagai kesulitan dalam melakukan sesuatu pekerjaan, karena sesudah dihadapi kesulitan itu akan datang kemudahan sebagaimana firman Allah :

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“ maka sesungguhnya [94.5] Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Al-Insyarah 94:5-6).

Kultum 25 Januari 2008

Mengharap Pertolongan Allah

Dengan terjadinya berbagai musibah selalu menimpa umat Islam di mana-mana, menyisakan pertanyaan kapan pertolongan Allah akan turun. Setiap orang yang tertimpa musibah siang dan malam mungkin akan senantiasa meminta kepadaNya agar azab yang menyedihkan tidak terulang. Namun semakin hari musibah kian bertambah, bahkan dengan bentuk yang lebih memilukan. Sebenarnya bila iman kita kuat, tentu kita dapat menangkap adanya ujian yang memerlukan ketabahan, dan sebagai pengajaran agar ummat ini sadar akan kekeliruannya selama ini, sehingga pada gilirannya ummat ini akan menambah ketaqwaan dan keimanannya kepada Allah sehingga akan mendapat kasih sayang Allah.

Untuk mencapai kasih sayang Allah di dalam Al-Qur’an telah meletakkan beberapa resep antara lain :

Pertama, pertolongan Allah akan turun, jika seseorang memiliki iman yang kuat dan sungguh-sungguh mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya. Sebagaimana janji Allah :

الَّذِينَ أَجْرَمُوا وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ

“kewajiban Kami untuk menolong orang-orang yang beriman” ( QS.30/ar-Rum:47 ).

Kedua, Allah berjanji untuk menolong hamba-hambaNya yang bertaqwa, menegakkan shalat dan membayar zakat, berjuang menegakkan ajaranNya di bumi. Allah berfirman :

وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertaqwa” (QS.9/:123).

Ketiga, Allah akan menolong mereka yang sabar menjalani jihad, tidak kenal lelah, dan tidak pernah putus asa. Firman Allah:

وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agamaNya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS.22/al-Hajj:40).

Keempat, menjalin persaudaraan yang kuat, Allah berfirman:

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah kamu bertengkar di antara kalian, karena itu akan menyebabkan kegagalan dan hilangnya kekuatan kalian, maka bersabarlah, sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS.8/al-Anfal:46).

Kelima, Kebersihan hati ikhlas semata kepada Allah, selalu mengharapkan pahala Allah dan ridhaNya, tidak riya’ atau ingin mengharap penghormatan dan decak kagum serta ucapan terima kasih dari orang lain. Sebab Allah berfirman :

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَارِهِم بَطَرًا وَرِئَاء النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَاللّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya'” (QS.8/al-Anfal:47). Dan ingatlah, bahwa kemenangan itu hanya di tangan Allah “wamannashru illaa min ‘indillah” (QS.3/ali-Imran:126 ).

Kultum 26 Januari 2008

MANFAAT Bersungguh-sungguh dalam meNGAJARKAN SHOLAT PADA ANAK

Ada sebahagian orang tua yang sangat kasihan pada anaknya ketika akan mengajak si anak melaksanakan sholat. Ada yang takut kalau anaknya kedinginan bila dibangunkan pada subuh hari untuk sholat, ada yang takut kalau konsentrasi anaknya terganggu karena sedang belajar, bahkan ada orang tua yang takut menyuruh anaknya sholat jum’at ke masjid karena kebetulan saat itu panas matahari sangat terik, padahal semestinya api nerakalah yang paling kita takuti kalau kita perhatian firman Allah swt. berikut ini :

قُلْ نَارُجَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ

katakanlah bahwa api neraka Jahannam itu lebih panas jika mereka memahaminya” (QS.At-Taubah:81)

Ibnul Qayyim pernah berkata : “bahwa orang tua yang menyepelekan pendidikan sholat pada anaknya, maka meskipun nanti anak tersebut berhasil, tapi tak ada artinya keberhasilan itu, justru kalau orang tua mengabaikan salah satu fardu dan sunnah agama tersebut yakni mengajarkan sholat ketika anak masih kecil, sebenarnya orang tua lah yang telah menghancurkan masa depan anaknya lebih dalu, sebelum anaknya menghancurkan diri mereka sendiri. Maka mengajarkan anak untuk sholat bisa mendatangkan manfaat, tidak hanya bagi diri anak sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang tuanya kelak dikemudian hari “.

Adapun manfaat itu diantaranya sebagai berikut :

1. Terlepas dari tuntutan Allah swt. atas tanggung jawab orang tua sebagaimana perintah Allah swt.:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan sholat, dan perbanyaklah sabar (jangan pernah berhenti) dalam hal itu” (QS.Thoha:132)

2. Orang tua akan mendapatkan pahala yang besar, terutama apabila anak-anak dapat melaksanakan sholat. Sebab sabda Rasulullah saw. : “Barang siapa yang menunjukkan pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melaksanakan kebaikan itu”.

3. Seluruh keluarga akan mendapatkan penjagaan dari Allah swt., dalam hal ini apabila orang tua bisa mengajak anggota keluarga melaksanakan sholat subuh berjamaah dengan maksud mengajari mereka, sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “Barang siapa sholat subuh berjamaah maka ia akan berada dalam tanggung jawab Allah swt.” (HR. Ibnu Majah)

4. Apabila anak sudah terbiasa dengan sholat, maka insyaallah ia tidak akan termasuk pada golongan munafik dan kafir ketika dewasa nanti, sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “perjanjian antara golongan kami dengan yang lain adalah sholat, maka siapa yang meninggalkannya itulah golongan kafir”. Sabda Nabi saw. pula : “Tidak ada sholat yang lebih berat bagi orang munafiq daripada sholat subuh dan isya, tapi kalau mereka tahu apa manfaatnya, niscaya mereka akan mengejarnya walaupun dengan merangkak” (HR.Bukhari)

5. Mengajarkan anak tentang sholat, hendaklah dimotifasi oleh keinginan agar dengan demikian anak bisa menjadi tabungan akhirat bagi kedua orang tuanya nanti sepeninggalnya, sabda Rasulullah saw. : “Apabila seorang anak adam telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendo’akannya” (HR.Muslim)

Kultum 27 Januari 2008

MENSIKAPI POLIGAMI SEBAGAI AJARAN ISLAM

Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. an-Nisa`; 3).

Sebuah hadis yang diriwayatkan al-Bukhari 9/140 dari Ibnu ‘Abbas ra.:

خير هذة الأمة أكثرها نساء.

Artinya: (Sebaik-baik umat ini adalah orang-orang yang paling banyak istrinya).

Sebagai seorang muslim seyogianya memandang perintah Allah swt sebagai suatu ajakan yang mulia yang harus dijunjung tinggi dan ditaati sebagai bentuk takut kepada Allah sebagai Tuhan semesta alam yang harus dilaksanakan perintahNya. Bahkan ketika Islam mengajarkan tentang poligami, maka orang mukmin harus yakin dan percaya bahwa ajaran tersebut bukan penyimpangan terhadap ajaran agama melain salah satu dari sejumlah perintah Allah swt.

Seorang muslim harus menyikapi poligami dengan menggunakan hati untuk merasa, telinga untuk mendengar dan mata untuk menyaksikan akan kebenaran perintah Allah ini, khususnya bagi kaum wanita yang mengharap keridhaan Allah, kehidupan yang bahagia di akhirat kelak, dan yang berambisi untuk mencapai surga Tuhan.

Peran kedua orang tua dalam memberikan pendidikan dan pengertian kepada anak-anak wanitanya terhadap ajaran poligami menjadi sangat penting dalam keluarga agar mereka dan ana-anak mereka tidak terjebak dalam menganalisa suatu problematika umat yang sangat polemis ini. Memang poligami merupakan salah satu problematika besar umat yang tidak kalah peliknya dengan berbagai problematika lain.

Namun keberhasilan dalam memecahkan polemik poligami dengan sudut pandang yang benar, akan memberikan hikmah yang sangat besar bagi sisi keagamaan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Kesungguhan dalam membahas isu poligami akan memperkecil tumbuhnya berbagai penyakit masyarakat, diantaranya memperkecil merebaknya jumlah perawan tua ditengah masyarakat.

Poligami memang banyak bertentangan dengan keinginan perempuan. Sebenarnya, penentangan ini timbul karena “rasa cemburu’ yang sangat berlebihan pada diri perempuan, ambisi untuk memiliki seorang lelaki (suami) seorang diri, dan enggan untuk bergabung dengan wanita lain di bawah tanggung jawab dan lindungan seorang suaminya. Inilah yang diperjuangkan oleh para kaum feminis dan didukung oleh mereka yang ingin agar jumlah orang Islam lebih sedikit dimuka bumi ini.

Sebenarnya, kita bukan menyuruh kaum perempuan untuk meminta atau menyarankan para suami menikah lagi, tapi hanya sekadar menjelaskan satu kebenaran dan sikap yang seharusnya diambil oleh seorang mukmin terhadap fenomena poligami. Yaitu, satu saran untuk menyarankan kaum perempuan untuk tidak menentang atau menolak keinginan suami yang berniat untuk menikahi wanita lain. Karena, perempuan memang tidak berhak untuk menahan dan melarang suaminya untuk menikah lagi. Akan tetapi, satu hal yang harus dilakukannya adalah meminta keadilan dari suami mereka yang beristri lebih dari satu. Karena keadilan merupakan bagian dari hak istri yang harus dipenuhi oleh suami.

Kultum 28 Januari 2008

PELUANG UNTUK SUKSES

Apabila kita mengajukan pertanyaan kepada setiap orang, apakah ia ingin meraih sukses dan bahagia di dunia dan di akhirat, akan kita peroleh jawaban yang pada intinya sama yaitu bahwa semua orang, tanpa terkecuali, mengharapkan kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Namun harus diakui bahwa meraih prestasi sukses tersebut tidak begitu mudah, dia tidak akan datang sendiri, akan tetapi harus dicari melalui berbagai ikhtiar. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Mu’minun/23 : 1-9 bahwa seorang mukmin akan mendaat peluang menjadi orang yang sukses dengan mengikuti kriteria sebagai berikut :

“Sungguh bahagialah orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusu’ di dalam shalat mereka, dan orang yang berpaling dari pekerjaan sia-sia, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga harga diri (kemaluannya) kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah dan janji-janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. Yakni yang akan mewarisi surga firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. 23/al-Mu’minun:1-9)

Ayat diatas secara gamblang menjelaskan peluang meraih kesuksesan itu dirumuskan dalam poin-poin berikut :

· Fi’shalatihim khasyi’un (orang khusu’ dalam shalatnya).

Shalat merupakan sarana komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya, tempat mengadu dan memohon harapan, dan juga merupakan jalur untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sholat juga dapat membuka peluang dan memberikan jalan bagi seseorang mengatasi setiap problema kehidupan. Hal ini karena didalam sholat terdapat takbiratul Ihram sebagai tanda pembuka yang berguna untuk melatih jiwa agar dapat menyingkirkan segala godaan saat berhadapan dengan perintah yang Maha Kuasa. Dan ketika lidah membaca do’a, maka hati meraba makna, sehingga dengan itu diharapkan jalan kesuksesan bagi seorang hamba semakin terbuka.

· Wa’anil lagghwi mu’ridhun (menjauhkan diri dari perbuatan lagha) yaitu sesuatu yang tak berharga, sehingga setiap hari rajin beramal saleh, berbuat baik terhadap sesama, dengan keluarga, jiran dan lingkungannya. Waktu-waktunya diatur dengan disiplin, tidak berlalu dengan hampa tak bermakna. Tapi diisi penuh kreatifitas dalam rangka mengabdikan diri kepada sang penciptanya.

· Lizzakati fa’ilun (mengeluarkan zakat).

Mukmin yang memiliki ciri sukses sangat merasa, bahwa apa yang dinikmati dalam hidupnya merupakan pemberian dan rahmat Allah Swt. Dia sadar ketika lahir ke dunia tidak membawa apa-apa. Karena itu mukmin ia tidak pernah membuat perhitungan atas harta yang dizakatinya. Menyisihkan harta adalah budaya dirinya, sehingga harta dizakati, infak diberikan dan sedekah diperhatikan.

· Liamanatihim wa’ahdihim ra’un (memegang amanah dan menepati janji).

Dalam dirinya terpantul nilai amanah, sangat hati-hati terhadap kepercayaan yang diberi. Dalam dirinya terekam bahwa Allah mengetahui apapun yang terjadi sedikit banyak di waktu siang maupun malam hari. Tidak ada satupun yang tersembunyi bagi zat yang maha tinggi. Dia penuhi segala janji, dan tidak pernah ia pungkiri.

· Lifurujihim hafizhun (memelihara farajnya).

Nafsunya diperihara, terkontrol tidak berbuat yang salah. Tidak pernah menempuh jalan ilegal tanpa prosedur lewat akad nikah. Selain mampu meredam nafsu melawan rayuan setan didalam kalbu, juga mengupayakan menegakkan nilai-nilai moral sejauh kemampuan yang ada pada dirinya.

Demikianlah gambaran mukmin sukses yang digambarkan Allah dalam Al-Qur’an. Mereka itulah pewaris surga, orang yang menang di dunia dan ukhrawi.

Kultum 29 Januari 2008

BEKERJA DAN BERIBADAH MENURUT ISLAM

Suatu hari Rasulullah SAW sedang duduk bersama sahabat, tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda tampan dan bertubuh kekar, tergesa-gesa hendak pergi menuju tempatnya bekerja. Salah seorang sahabat berkata: “Alangkah baiknya sekiranya pemuda yang gagah itu mempergunakan kekuatan tubuhnya untuk berjuang di jalan Allah, jihad fi sabilillah”.

Mendengar komentar sahabat tersebut, Rasulullah SAW bersabda :

“Janganlah kalian berkata seperti itu. Karena jika dia bekerja untuk mencukupi kebutuhannya, sehingga tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain, maka sesungguhnya dia telah berjuang di jalan Allah. Jika dia berusaha untuk menghidupi orangtuanya yang sudah jompo atau untuk anak-anaknya yang masih kecil, demi memenuhi kebutuhan keluarganya, maka dia juga berjuang di jalan Allah”. (HR.Baihaqi)

Hadis di atas mengisyaratkan bahwa bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah suatu kewajiban dan usaha yang terpuji dan sangat dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya : “Katakanlah, hai kaumku, beramallah kamu menurut keadaanmu, sesungguhnya aku beramal (menurut keadaanku), maka kelak kamu akan mengetahu” (QS. Al-Zumar:39)

Sebaliknya orang yang malas merupakan awal dari kemiskinan. Sementara orang yang bekerja menimbun harta kekayaan untuk bermegah-megah dan pamer tanpa bermanfaat bagi kemanusiaan adalah merupakan jalan setan.

Sedemikian eratnya kaitan kerja dengan ibadah, hingga Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang pulang ke rumahnya di sore hari dan merasakan kelelahan karena kedua tangannya bekerja di siang hari, maka pada malam itu dia akan mendapat ampunan Allah SWT” (HR.Thabrani).

Ada Enam Kebiasaan Efektif yang harus ditanamkan dalam rangkan menjadikan kerja sebagai ibadah:

Pertama, selalu proaktif, kreatif, dan berinisiatif, sehingga terasa kehadirannya di tengah teman-temannya dan ditengah suasana pekerjaannya” (QS.2:141).

Kedua, memulai sesuatu dengan akhir dalam pikiran, artinya segala tingkah lakunya diawali dengan niat li Allah Ta’ala dan tujuan mencapai ridha Allah SWT. Niat ini seakan mensakralkan segala aktifitas orang beriman menjadi ibadah.

Ketiga, selalu mengutamakan yang paling utama. Dalam sebuah hadis Nabi dijelaskan, aula laka fa aula (carilah yang lebih utama).

Keempat, selalu berpikir menang-menang, berfikir positif (huznuzhzhan), sebab segala sesuatu diyakini sebagai mengandung hikmah.

Kelima, adalah selalu mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri, meskipun kepentingan diri sendiri itu penting namun ia dipenuhi dengan melakukan kerja sama.

Keenam, adalah selalu meningkatkan kualitas diri dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Sebagaimana firman Allah swt. : “Apabila kamu selesai mengerjakan sesuatu pekerjaan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh pekerjaan lain. Kemudian mendekatlah kepada Allah” (QS.al-Insyirah:7)

Dengan demikian dapat dimengerti apabila kebiasaan diatas dapat dilaksanakan dalam kehidupan aktifitas sehari-hari maka bekerja itu dapat dinilai sebagi ibadah. Dan kebiasan itu umumnya menjadi faktor penyebab kemajuan seseorang dalam hidupnya.

Kultum 30 Januari 2008

Kriteria Sukses Menurut Islam

Kalau diamati petunjuk Al-Qur’an, ternyata kesuksesan seseorang bukanlah terbatas pada pencapaian materi semata, akan tetapi mereka yang dinilai beruntung apabila dapat memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Mendapat petunjuk dari Tuhan karena ketaqwaannya

2. Beriman kepada Allah, Rasul-rasul, Kitab-Kitab Akhirat

3. Mengerjakan sholat

4. Bekerja mencari karunia atau rezeki demi tercapainya kebutuhan dan mendatangkan manfaat baik bagi keluarga maupun masyarakat.

Sukses dalam Islam harus didukung oleh beberapa upaya diantaranya:

1. Bekerja secara efisien dan produktif, karena dengan demikian akan memberikan nilai tambah lebih tinggi daripada sekedar bekerja tanpa memikirkan efisiensi kerja dan produktifitas yang lebih. Dalam Islam ada ajaran bahwa sebuah ibadah memiliki nilai yang berfariasi. Ada yang standard (biasa) dan adapula yang memiliki nilai lebih. Misalkan dalam shalat berjemaah dipandang lebih tinggi beberapa derajat nilainya daripada sholat sendiri. Atas petunjuk ini bahwa kerja juga demikian, nilai kerja diukur dari hasil lebih besar yang dihasilkan oleh kerja itu. Maka seorang mukmin yang sukses memakai kriteria ini dalam bekerja sehingga kerjanya dinilai tinggi dalam pandangan Islam.

2. Kesuksesan tidak lepas dari keahlian seseorang, sebab itulah mengapa dalam Islam kita diajarkan untuk mempercayakan suatu pekerjaan kepada mereka yang memiliki kemampuan cukup untuk itu. Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan dalam ungkapannya bahwa: “bila mana sesuatu pekerjaan dipercayakan kepada pihak yang bukan ahlinya, hasilnya tidak akan seperti yang diharapkan”.

3. Mempunyai rencana yang sudah diperhitungkan untung ruginya. Seorang yang ingin sukses harus memiliki rencana kerja yang jelas. Dan bila nanti rencananya itu harus berhadapan dengan suatu kendala atau suatu kesulitan diluar perhitungan, maka ia harus yakin bahwa Allah akan memberikan kemudahan lebih banyak. Kesulitan merupakan suatu tantangan yang wajar bagi mereka yang ingin meraih kesuksesan dan itu harus dihadapi dan dipecahkan dengan kepala dingin dan mengharap kemudahan dari Allah swt.

4. Setelah selesai menjalankan satu rencana, Islam mengajarkan kepada kita bersikap tawakkal dan bersandar kepada Allah akan hasil yang bakal diterima. Yang penting sebelum rencana itu diserahkan kepada Allah, terlebih dahulu sudah dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dengan menerapkan alur proses kerja yang telah ditetapkan sehingga tidak ada yang terabaikan dan semua pekerjaan dapat dipertanggung jawabkan kualitas dan mutu kerjanya.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan berikut:

· Manusia dan kerja (‘amal) adalah suatu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, bahkan eksistensi manusia itu ditentukan oleh nilai kerjanya.

· Dalam menangani kerja, seorang manusia harus memiliki prinsip-prinsip : (1) kerja adalah sebagai ibadah, (2) kerja harus berkualitas, sebab semakin tinggi kualitas pekerjaan semakin tinggi pula nilai ibadahnya, (3) setiap kerja akan berpapasan dengan tantangan dan cobaan. Tantangan dan cobaan tersebut harus dihadapi dengan penuh optimisme, sebab di balik kesulitan pasti ada kemudahan dan jalan keluar.

· Karena kerja merupakan ibadah, maka ia harus dikerjakan secara terencana Allahlah yang menciptakan manusia dan kerja, dan bahkan tantangan-tantangan di dalamnya, dan Dia pulalah tempat bersandar dalam menjalani dan melaksanakannya.

Kultum 31 Januari 2008

Ukhuwah Islamiyah

Allah menurunkan Islam sebagai ‘hudan linnaas’, petunjuk bagi umat manusia. Sebagai petunjuk, Islam menciptakan alam baru pemikiran dan keyakinan manusia yang tidak lagi hanya tersekat pada batas-batas wilayah dan garis kekeluargaan. Sebagai agama fitrah, penjunjung tinggi kemanusiaan umat manusia, Islam tidak menafikan hubungan yang fitri pada diri manusia yang terbentuk atas kesamaan asal wilayah dan muasal keturunan. Semakin orang dekat dalam persamaan dengan salah satu hal ini, mereka merasa rapat, mengikat simpul batin adanya kedekatan. Pasa sisi lain, Islam menciptakan sebuah perasaan dekat lain, yaitu semangat keberagamaan baru : seiman dan seagama, meskipun berangkat dari ketidak-samaan pada asal keturunan atau muasal daerah. Semangat ini disebut ukhuwah al-islamiyah, persaudaraan atas kesamaan akidah.

Penduduk Jazirah Arabia pada umumnya, hingga masa-masa awal kenabian Muhammad (saw), lebih banyak membentuk ikatan antar mereka dari sisi silsilah keturunan. Semakin dekat garis keturunan antar mereka, maka semakin kuat tali perkawanan dan persekutuan. Izzah tertinggi (kemuliayan) bagi masyarakat ini adalah pengabdian kepada suku. Pengabdian anggota suku adalah untuk suku masing-masing. Lantaran fanatisme kesukuan yang sangat tinggi, tiap orang berbangga atas kesukuannya, sehingga peperangan, kebencian dan permusuhan tidak dapat dihindari.

Nabi (saw), akhirnya, diundang oleh beberapa orang yang sudah muak dengan peperangan dan kebencian tak berujung dari kedua suku tersebut untuk menjadi penengah. Nabi menyambut baik ajakan tersebut, dan hal pertama yang dikerjakan Nabi saat menjejakkan kaki di bumi Madinah adalah mempersatukan dua suku Arab yang saling bertempur. Nabi tak banyak mengalami kesulitan dalam mengupayakan hal paling mendasar dalam sebuah masyarakat, karena Nabi dari pihak ibu adalah berasal dari suku tersebut. Perdamaian kedua suku ini merupakan pilar pertama dari ajaran Islam, yaitu muakhat (persaudaraan). Barangsiapa yang mengaku beragama Islam, dia adalah akh (saudara) bagi seorang Muslim lainnya. Tak ada kedudukan lebih tingi, dan tak ada pula yang lebih rendah, semua sama, kecuali nilai taqwa. Tak ada persaudaraan yang abadi kecuali dikarenakan keimanan yang sama. Bahkan pada waktu yang sama, Nabi memperkenalkan kepada mereka saudara baru yang berasal dari kota lain, Muhajiriin, orang-orang yang berhijrah bersama Nabi dari Mekkah. Identitas kesukuan tidak lagi ditonjolkan dan dijadikan kebanggaan, kecuali bahwa mereka penduduk asli Madinah adalah Ansor, para penolong, dan orang-orang pendatang sebagai Muhajiriin.

Islam yang membentangkan kepada siapa saja kasih sayang untuk semua umat manusia, Islam yang memberikan rasa damai bagi pemeluknya, bagi saudara seiman, bagi saudara sedarah dan sedaging, bagi saudara satu negara, dan bagi umat manusia, siapapun dia, apapun mereka. Inilah Islam yang menjunjung tinggi martabat manusia.

Tinggalkan komentar